HAK MENGUJI (Toetsingsrecht)
Hak Menguji (toetsingsrecht)
berkaitan dengan sistem perundang-undangan yang berlaku di suatu negara.
Sistem perundang-undangan terbentuk dalam suatu sistem dan tersusun
secara hierarkis yang disebut dengan hierarkis peraturan perundang-undangan.
Hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia (Pasal 7 ayat (1) UU
No. 10 Tahun 2004):
- Undang-Undang Dasar;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah.
(Hierarkis diartikan sebagai tingkatan atau jenjang dan bukannya tata
urutan)
Dalam pembentukan aturan hukum sesuai hierarkis peraturan
perundang-undangan di atas didasarkan pada Stuffenbou
Theory.
Hak Menguji peraturan
perundang-undangan adalah wewenang untuk memeriksa dan menilai berlakunya suatu
jenis peraturan perundang-undangan berdasarkan kerangka atau sistem peraturan
perundang-undangan yang terdapat dalam suatu negara.
Hak Menguji (Toetsingsrecht) ada 2 macam:
- Hak Menguji Formal (formele toetsingsrecht);
- Hak Menguji Material (materiele toetsingsrecht)
v Hak
Menguji Formal (formele toetsingsrecht)
adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk dari lembaga legislatif,
seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure)
sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku ataukah tidak.
v Hak
Menguji Material (materiele
toetsingsrecht) adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi apakah suatu peraturan perundang-undangan
sesuai atau bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende
macht) berhak mengeluarkan suatu
peraturan tertentu.
Dari pengertian di atas, maka peristilahan hak menguji (toetsingsrecht) tidak sama dengan
istilah judicial review. Berkenaan
dengan hak menguji, maka wewenang tersebut dapat dilaksanakan oleh lembaga
legislatif, eksekutif maupun judisial. Oleh karena itu, penggunaan istilah hak
menguji (toetsingsrecht) yang
diartikan sebagai judicial review adalah
suatu kekeliruan.
Pengujian Peraturan Perundang-undangan
Pengujian
Norma Hukum
Dalam praktek, dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji (norm control mechanism), diantaranya:
1. yang
berisi atau bersifat pengaturan (regeling),
2. yang
berisi atau bersifat penetapan administratif/keputusan (beschikking),
3. yang
berisi atau bersifat penghakiman (vonnis).
Ketiga norma hukum di atas sama-sama dapat diuji kebenarannya melalui
mekanisme peradilan (justisial)
maupun non-justisial. Pengujian yang
dilakukan oleh lembaga peradilan, maka proses pengujiannya disebut judicial review, pengujian yang
dilakukan oleh lembaga legislatif disebut legislative
review, dan pengujian yang dilakukan oleh lembaga eksekutif disebut executive review.
Preview
dan Review
Review
berasal dari kata re dan view yang berarti memandang, menilai,
atau menguji kembali.
Preview berasal
dari kata pre dan view yang berarti kegiatan memandangi
sesuatu lebih dulu dari sempurnanya keadaan atau objek yang dipandang itu.
Dalam kaitan dengan pengujian yang dilakukan oleh lembaga peradilan,
maka hanya dapat menggunakan istilah judicial
review dan tidak dapat digunakan istilah judicial preview. Hal ini disebabkan karena objek peraturan
perundang-undangan memiliki dimensi yang berbeda pada saat sebelum dan sesudah
resmi berlaku. Berkaitan dengan pengujian yang dilakukan secara preview, hal ini hanya dapat dilakukan
oleh lembaga legislatif untuk menguji produk legislasi (legislative acts) yang berupa RUU yang dapat dilakukan melalui
mekanisme konsultasi publik. Hal ini dapat disebut dengan istilah legislative preview. Demikian juga oleh
lembaga eksekutif terhadap produk regulasi (executive
acts/regulating acts) yang disebut dengan istilah executive preview.
Pengujian
Konstitusionalitas dan Legalitas
Pengujian konstitusionalitas undang-undang adalah pengujian mengenai
nilai konstitusionalitas undang-undang itu, baik dari segi formil ataupun
materiil.
Pengujian ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, atau disebut dengan
menguji the constitutionality of
legislative law or legislation.
Alat pengukur untuk menilai atau menguji konstitusionalitas suatu
undang-undang, diantaranya:
- naskah UUD yang resmi tertulis;
- dokumen-dokumen tertulis yang terkait erat
dengan naskah UUD itu;
- nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam
praktek ketatanegaraan yang telah dianggap sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari keharusan dan kebiasaan dalam penyelenggaraan kegiatan
bernegara;
- nilai-nilai yang hidup dalam kesadaran
kognitif rakyat serta kenyataan perilaku politik dan hukum warga negara
yang dianggap sebagai kebiasaan dan keharusan-keharusan yang ideal dalam
peri-kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung didasarkan pada pengujian
legalitas, dimana indikator pengujian yang dilakukan adalah UU yang menjadi
dasar dikeluarkannya peraturan perundang-undangan di bawah UU.
Hasil dari pengujian konstitusionalitas dapat berupa UU yang
konstitusional (sesuai dengan konstitusi) dan UU yang inkonstitusional.
Hasil dari pengujian legalitas dapat berupa peraturan
perundang-undangan di bawah UU legal atau sah dan peraturan perundang-undangan
di bawah UU yang illegal atau tidak sah.
Objek
Pengujian
Yang menjadi objek dalam pengujian peraturan perundang-undangan adalah:
1. Produk
Legislatif (Legislative Acts)
2. Produk
Regulatif (Executive Acts)
Produk legislatif (Legislative
Acts) adalah produk peraturan yang ditetapkan oleh atau dengan melibatkan
peran lembaga perwakilan rakyat, baik sebagai legislator ataupun co-legislator.
Note: Dimanakah kedudukan Dewan Perwakilan Daerah? Apakah sebagai legislator atau co-legislator?
Bagaimana dengan kedudukan Presiden?
Kedudukan para wakil rakyat sebagai pembentuk UU, maka setiap UU
sebagai produk legislatif tidak boleh diubah atau dibatalkan oleh pemerintah
tanpa persetujuan lembaga perwakilan rakyat yang membentuknya.
Lembaga-lembaga eksekutif hanya diperkenankan untuk membuat aturan
untuk menjabarkan produk legislatif berdasarkan delegasi kewenangan (self
regulatory body), dan produk hukum berupa pengaturan yang dibuat disebut
sebagai Executive Acts atau Regulative Acts dan bukan produk
legislatif (Legislative Acts).
Note:
- Bagaimana dengan produk Peraturan Daerah?
Apakah sebagai Legislative Acts
atau Executive Acts?
- Perpu sebagai Legislative Acts atau Executive
Acts? Perpu diuji oleh Mahkamah Konsitusi atau Mahkamah Agung?
- Dalam setiap UU ada terdapat Lampiran UU.
Apakah Lampiran UU dapat diuji di Mahkamah Konstitusi?
Hak
Menguji Materiil di Beberapa Negara
Hak
Menguji Negara Amerika Serikat
Hak menguji dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (Supreme Court) berdasarkan Pasal III ayat (1) dan (2) Konstitusi
AS. Pelaksanaan judicial review
dilakukan oleh Badan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung.
Konstitusi AS tidak mengatur tentang judicial review, tetapi
dalam Pasal 6 Bagian 2 Konstitusi AS ditentukan bahwa ”the constitusional, laws, and the treaties of the United States
merupakan Supreme Laws of the land”.
Hal ini menunjukkan bahwa para hakim berkewajiban untuk menjaga agar tidak
terjadi adanya suatu peraturan yang bertentangan dengan the constitutional, laws, and the treaties of the United States.
Pemikiran tentang judicial review
pertama kali dikemukakan oleh Alexander Hamilton yang mengemukakan bahwa perlu
adanya jaminan terhadap undang-undang yang tidak diatur dalam konstitusi dan
penafsiran terhadap undang-undang menjadi kewenangan peradilan setelah
undang-undang tersebut ditetapkan oleh lembaga legislatif.
Argumentasi ini mendasari kewenangan peradilan untuk melakukan
pengawasan konstitusi berupa judicial
review oleh Mahkamah Agung. Hal ini
pertama kali dilakukan oleh Chief Justice
John Marshall dalam perkara Marbury vs Madison pada tahun 1803.
Ada 2 (dua) pandangan berkaitan dengan kekuasaan Mahkamah Agung dalam
melakukan judicial review, yaitu :
a) pandangan
yang menyatakan bahwa judicial review merupakan
kekuasaan otomatis Mahkamah Agung (automatic
power of the Supreme Court);
Konstitusi
sebagai hukum tertinggi dan segala peraturan yang bertentangan merupakan
kewajiban Mahkamah Agung untuk menyatakannya sebagai unconstitutional.
b) pandangan
yang beranggapan bahwa judicial review
merupakan kekuasaan yang merdeka (bebas) dari Mahkamah Agung (discretionary power of the Supreme Court).
Yang
diatur dalam konstitusi adalah buatan manusia, dan apabila konstitusi menjadi
tidak jelas atau kabur maknanya, maka kewajiban serta hak Mahkamah Agung untuk
memperjelas atau menegaskan ketentuan-ketentuan yang tidak jelas.
Dalam kaitan dengan pelaksanaan judicial
review, AS sebagai negara dengan sistem common
law menggunakan sistem decentralized
review dan the rule of stare decisis.
Sistem decentralized review dilakukan
oleh karena tidak adanya mahkamah yang khusus mengatur tentang sengketa yang
timbul dengan penafsiran konstitusi, sedangkan the rule of stare decisis (putusan secara langsung yang didasarkan
pada putusan sebelumnya).
Putusan pengadilan di AS mengenai judicial
review adalah putusan inter partes,
yaitu putusan yang akibat-akibatnya hanya berlaku pada perkara yang diputus.
Dengan adanya stare dicisis, daya
mengikat putusan ini diperluas karena putusan Mahkamah Agung AS mengikat pula
semua pengadilan bawahan (binding
authority).
Hak
Menguji Republik Perancis
Republik Perancis merupakan negara yang menganut sistem hukum Eropa
Kontinental (civil law) dan teori
pemisahan kekuasaan murni (the pure
theory of the separation of power).
Peradilan di Republik Perancis memiliki ciri khusus dengan adanya
peradilan administrasi, peradilan umum dan peradilan khusus. Hal ini berakibat
pada penerapan hukum yang berbeda bagi warga negara dan perusahaan (private business) dengan pegawai
administrasi pemerintah (governing public
administration). Peradilan umum dinamakan Tribunal de l’ Ordre Judiciare yang berpuncak pada La Cour de Cassation dan Tribunal de’ l Ordre Administratif (Peradilan
Administrasi Negara). Apabila terjadi sengketa jurisdiksi antara badan
peradilan umum dan badan peradilan administrasi, maka akan diperiksa dan
diputus oleh peradilan kolegial yang disebut Tribunal Des Conflicts.
Dewan Konstitusi (The
Constitutional Council) bertugas menguji UU yang diputuskan oleh Parlemen
yang menghendaki penyempurnaan terhadap konstitusi. Dewan Konstitusi bukan
merupakan Supreme Court sebab badan
tersebut bukanlah hierarki dari Peradilan Administrasi, Peradilan Umum dan
Peradilan Khusus. Dewan Konstitusi merupakan ”penjamin” konstitusi yang
bertugas untuk menjaga isi konstitusi dengan wewenang melaksanakan hak menguji.
Dewan Konstitusi tidak melaksanakan fungsi judicial, namun cara peninjauan
masalah menggunakan ukuran hukum yang terdapat dalam konstitusi dan bukan
kriteria politik.
Hak
Menguji Republik Federal Jerman
Negara Republik Jerman memiliki Mahkamah Konstitusi Federal (Bundesverfassungsgericht: BverfG) yang
diatur dalam Bab IV tentang Administration
of Justice Pasal 93, Pasal 94, Pasal 99, dan Pasal 100 Konstitusi Negara
Republik Federal Jerman.
Mahkamah Konsitusi Federal (Federal
Constitutional Courts) adalah satu-satunya badan peradilan pada negara
Republik Federal Jerman yang berwenang melakukan constitutional review (Staatsgerichtsbarkeit). Mahkamah Konstitusi
Federal tidak memiliki pengadilan bawahan maupun atasan dan terpisah dari
Mahkamah Agung Federal yang terdiri dari the
Federal Administrative Court, the Federal Fiscal Court, the Federal Labour
Court, the Federal Social Court, dan the
Federal Court of Justice, namun sebagai pelindung Basic Law, Mahkamah Konstitusi Federal dapat membatalkan putusan
Mahkamah Agung Federal yang bertentangan dengan Basic Law dan putusannya bersifat erga omnes.
Tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi Federal adalah sebagai berikut:
1) Mahkamah
Konstitusi Federal berwenang memecat (impeach)
Presiden Federal;
2) Mahkamah
Konstitusi Federal berwenang dalam hal terjadi perselisihan antara
lembaga-lembaga dalam pemerintah federal (disputes
between branches of federal foverment);
3) Mahkamah
Konstitusi Federal berwenang melakukan abstract
judicial review berkaitan dengan terjadinya perbedaan pendapat atau
keragu-raguan mengenai kesesuaian dalam hal formal maupun material antara UU
Federal Negara atau UU Federal Bagian dengan Basic Law, atau kesesuaian UU Negara Bagian dengan UU Negara
Federal;
4) Mahkamah
Konstitusi Federal berwenang dalam hal terjadi perselisihan antara federation dan negara bagian;
5) Mahkamah
Konstitusi Federal berwenang melakukan constitutional
complaint berkaitan dengan dilanggarnya hak-hak konstitusional warga negara
oleh pemerintah;
6) Mahkamah
Konstitusi Federal berwenang memberikan putusan terhadap kasus-kasus lain dalam
hal ditentukan oleh UU Federal;
7) Mahkamah
Konstitusi Federal berwenang untuk melakukan konkrete Normenkonrolle berkaitan dengan konstitusionalitas suatu
UU.
Hak
Menguji Negara Kerajaan Inggris
Negara Inggris merupakan negara yang menganut sistem supremasi parlemen
dan tidak memiliki konstitusi dalam dokumen tertulis. Hal ini menyebabkan
Inggris sebagai salah satu negara yang tidak mengatur tentang judicial review. Praktek judicial review hanya terbatas pada
tindakan administrasi negara atau tindakan eksekutif.
Negara Inggris menganut sistem unity
of jurisdiction sehingga judicial
review ditangani oleh pengadilan umum. Judicial
review dilaksanakan dalam arti terbatas yang didasarkan pada doktrin Ultra Vires.
Permohonan judicial review hanya
dapat dilakukan berdasarkan salah satu dari tiga hal berikut, yaitu illegality (tidak sah), irrasionality (tidak rasional), dan procedural impropriety (salah prosedur).
Walaupun pengadilan memutuskan tidak berlaku (invalid), pengadilan tidak dapat menggantikan keputusan tersebut. Pengadilan
hanya dapat mengembalikan keputusan tersebut kepada pembuat keputusan agar
putusan pengadilan dapat dijadikan pertimbangan.
Pengadilan hanya dapat melakukan review
terhadap subordinate legislation
dan dapat menyatakan peraturan tersebut invalid.
Subordinate legislation berkaitan
dengan klasifikasi berdasarkan tujuan dan prosedur. Selain judicial review cara lain yang dapat digunakan untuk mengontrol subordinate legislation adalah pre-drafting consultation, parliamentary
proceedings dan joint committeeon
statutory instruments.
Judicial review
tidak dapat dilakukan terhadap pelaksanaan wewenang diskresi pemerintah, namun
pemerintah tidak dapat bertindak secara sewenang-wenang atau secara umum
disebut unreasonable.
Note: Buat analisis perbedaan antara konsep hak menguji di Indonesia
dengan Negara AS, Republik Perancis, Republik Federal Jerman, dan Negara
Kerajaan Inggris.
Pengaturan Hak Menguji Dalam Perundang-undangan di
Indonesia
Hak
Menguji UU Terhadap UUD
ü UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24C ayat (1).
ü UU
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 12 ayat (1) huruf a
ü UU
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 huruf a.
Hak
Menguji Peraturan Perundang-Undangan di bawah UU Terhadap UU
ü UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24A ayat (1).
ü UU
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman, Pasal 11 ayat (2) dan (3)
ü UU
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, Pasal 31 dan Pasal 31A
Sebelum peraturan perundang-undangan di atas, hak menguji diatur dalam
Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan, UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung, dan PERMA Nomor 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji.
Prosedur dan Tatacara Pengujian Oleh Mahkamah
Konstitusi
Pemohon
dan Permohonan
a.
Pemohon
Pengujian
1) Persyaratan
Legal Standing Pemohon
Semua perkara konstitusi di MK disebut sebagai perkara permohonan,
bukan gugatan.
Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut
undang-undang untuk mengajukan permohonan perkara konstitusi kepada MK.
Pemenuhan syarat-syarat tersebut menentukan kedudukan hukum (legal standing) suatu subjek hukum untuk
menjadi pemohon yang sah dalam perkara pengujian undang-undang.
Persyaratan legal standing
mencakup syarat formal (status hukum pemohon) dan syarat materiil (kerugian hak
atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang
dipersoalkan.
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :
a. Perorangan
WNI;
b. Kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan
hukum publik atau privat;
d. Lembaga
negara.
Hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kesimpulan:
Pemohon yang memiliki legal
standing haruslah:
·
salah satu dari keempat kelompok subjek hukum;
·
bahwa subjek hukum dimaksud memang mempunyai
hak-hak atau kewenangan-kewenangan sebagaimana diatur dalam UUD 1945;
·
bahwa hak atau kewenangan konstitusional yang
bersangkutan memang telah dirugikan atau dilanggar oleh berlakunya
undang-undang atau bagian dari undang-undang yang dipersoalkan itu;
·
bahwa adanya atau timbulnya kerugian dimaksud
memang terbukti mempunyai hubungan sebab akibat atau hubungan kausal (causal verband) dengan berlakunya
undang-undang yang dimaksud;
·
bahwa apabila permohonan yang bersangkutan kelak
dikabulkan, maka kerugian konstitusional yang bersangkutan memang dapat
dipulihkan kembali dengan dibatalkannya undang-undang dimaksud.
Apabila tidak terpenuhi legal
standing, maka permohonan dinyatakan Permohonan
Tidak Dapat Diterima atau Niet
Onvantkelijk Verklaard (NO), sedangkan apabila dalil tidak terbukti, maka
amarnya menyatakan Menolak Permohonan
Pemohon.
b.
Permohonan
Perkara
Permohonan
pengujian UU meliputi pengujian formil dan/atau pengujian materiil. Pengujian formil adalah pengujian UU
yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak
termasuk pengujian materiil, sedangkan pengujian
materiil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan materi muatan dalam
ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Permohonan
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh Pemohon atau Kuasanya
dalam 12 (dua belas) rangkap yang memuat:
i. Identitas
Pemohon, meliputi: nama, tempat/tanggal lahir/umur, agama, pekerjaan,
kewarganegaraan, alamat lengkap, nomor telpon/faksimili/ telpon selular/e-mail.
ii. Uraian
mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi:
1. kewenangan
MK dalam pengujian UU (formil dan materiil);
2. kedudukan
hukum Pemohon yang berisi uraian yang jelas mengenai anggapan Pemohon tentang hak
dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU
yang dimohonkan untuk diuji;
3. alasan
permohonan pengujian formil maupun materiil, diuraikan secara jelas dan rinci.
iii. Hal-hal
yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian formil, yaitu:
1. mengabulkan
permohonan Pemohon;
2. menyatakan
bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan
undang-undang berdasarkan UUD 1945;
3. menyatakan
undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
iv. Hal-hal
yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian materiil, yaitu:
1. mengabulkan
permohonan Pemohon;
2. menyatakan
bahwa materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang dimaksud
bertentangan dengan UUD 1945;
3. menyatakan
bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Di
samping diajukan dalam bentuk tertulis, permohonan juga diajukan dalam format
digital yang disimpan secara elektronik dalam media penyimpanan berupa disket,
cakram padat (compact disk) atau yang
serupa dengan itu.
Setelah
permohonan disiapkan, Pemohon melakukan pendaftaran permohonan ke Panitera MK.
Kemudian ditentukan Jadwal Sidang, Pemberitahuan dan Pemanggilan Pihak-pihak
untuk menyampaikan keterangan.
Panitera
MK akan melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan permohonan, dan apabila
belum lengkap, maka Pemohon diminta untuk melengkapi kekurangan berkas-berkas
permohonan tersebut (penelitian administratif).
Pemeriksaan
Persidangan
1)
Pemeriksaan
Pendahuluan (Preliminary session)
Pemeriksaan
Pendahuluan didasarkan pada Pasal 39 UU No. 24 Tahun 2003:
(1)
Sebelum mulai memeriksa perkara, MK mengadakan
pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan;
(2)
Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), MK wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau
memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari.
Pemeriksaan
pendahuluan merupakan proses pemeriksaan perkara tersendiri dari pemeriksaan
persidangan. Pemeriksaan pendahuluan berkaitan dengan pemeriksaan atau
penelitian administratif yang dilakukan oleh panitera MK, tetapi dalam
pemeriksaan pendahuluan ini dilakukan dalam sidang terbuka.
Tujuan
Pemeriksaan Pendahuluan:
a. Memastikan
kelengkapan berkas permohonan perkara pengujian undang-undang yang diajukan
oleh pemohon sesuai dengan UU dan PMK;
b. Memastikan
kejelasan materi permohonan yang diajukan oleh pemohon, baik posita-nya, amar
yang diminta, dan apa saja alat bukti yang sudah dan akan diajukan untuk
mendukung dalil-dalil yang diajukan;
c. Memastikan
bahwa permohonan yang diajukan pemohon memang termasuk kewenangan MK untuk
memeriksa dan mengadilinya, termasuk mengenai kejelasan apakah perkara tersebut
berkenaan dengan pengujian undang-undang secara materiil atau formil;
d. Memastikan
kualitas kedudukan hukum pemohon yang mengajukan permohonan memang memenuhi
syarat menurut ketentuan UU;
e. Memastikan
bahwa permohonan perkara pengujian undang-undang yang diajukan oleh pemohon itu
memang sudah sesuai dengan ketentuan UU dan PMK.
2)
Pemeriksaan
Oleh Panel
Pemeriksaan
oleh panel hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas tiga orang hakim
konstitusi adalah salah satu bentuk dari persidangan MK. Selain itu, terdapat
sidang pleno hakim yang dihadiri sekurang-kurangnya tujuh orang hakim
konstitusi.
Pemeriksaan
oleh panel hakim tidak hanya terbatas kepada pemeriksaan pendahuluan dan
pemeriksaan lainnya terhadap permohonan dan pemohon, tetapi dapat pula
menyangkut pokok perkara. Bahkan panel juga dapat melakukan pemeriksaan
bukti-bukti.
Panel
dapat difungsikan secara penuh sebagai alat perlengkapan MK untuk memeriksa
suatu perkara, yang hasilnya langsung dilaporkan kepada forum rapat pleno
permusyawaratan hakim yang bersifat tertutup untuk diambil putusan final atas
perkara yang bersangkutan.
Hal-hal
yang dapat dilakukan oleh panel hakim MK:
1. Pemeriksaan
kelengkapan permohonan dan kesesuaian permohonan itu dengan ketentuan UU dan
PMK;
2. Pemeriksaan
mengenai kejelasan materi permohonan, termasuk mengenai maksud pengujian
undang-undang yang diajukan, apakah bersifat materiil atau formil, kejelasan fundamentum petendi atau posita dan
kejelasan petitum yang diminta dalam
permohonan;
3. Pemeriksaan
mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan keberwenangan MK untuk memeriksa
dan mengadili permohonan yang diajukan;
4. Pemeriksaan
mengenai pemenuhan syarat-syarat kedudukan hukum pemohon;
5. Pemeriksaan
terhadap keterangan saksi-saksi, keterangan ahli atau para ahli, dan
pemeriksaan terhadap alat-alat bukti lainnya, seperti alat bukti surat dan
sebagainya;
6. Pemeriksaan
terhadap keterangan pihak-pihak yang terkait kepentingannya, sehingga
mengajukan permohonan untuk menyampaikan keterangan sebagai ad-informandum yang tidak mengikat.
3)
Pemeriksaan
Oleh Pleno
Dalam
memeriksa suatu permohonan pengujian undang-undang, jika MK memang menganggap
penting untuk memanggil Presiden, DPR, DPD atau lembaga negara sederajat
lainnya, maka MK selalu mengadakan persidangan dalam bentuk pleno yang harus
dihadiri sekurang-kurangnya tujuh orang hakim konstitusi.
Sidang
Pleno memeriksa hal-hal berikut ini:
a. Pemeriksaan
kelengkapan permohonan dan kesesuaian permohonan itu dengan ketentuan UU dan
PMK;
b. Pemeriksaan
mengenai kejelasan materi permohonan, termasuk mengenai maksud pengujian
undang-undang yang diajukan, apakah bersifat materiil atau formil, kejelasan fundamentum petendi atau posita dan
kejelasan petita atau petitum yang diminta dalam permohonan;
c. Permohonan
mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan keberwenangan MK untuk memeriksa
dan mengadili permohonan yang diajukan;
d. Pemeriksaan
mengenai pemenuhan syarat-syarat kedudukan hukum pemohon;
e. Pemeriksaan
terhadap keterangan saksi-saksi, keterangan ahli atau para ahli, dan
pemeriksaan terhadap alat-alat bukti lainnya;
f. Pemeriksaan
terhadap keterangan pihak-pihak yang terkait kepentingannya, sehingga
mengajukan permohonan untuk menyampaikan keterangan sebagai ad-informandum yang tidak mengikat;
g. Pemeriksaan
terhadap keterangan Presiden/Pemerintah yang diwakili oleh menteri atau
menteri-menteri, DPR dan DPD.
Dalam persidangan perkara pengujian undang-undang seringkali para
pemohon mendalilkan adanya dugaan tindak pidana penyuapan atau korupsi dalam
proses pembentukan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Meskipun mengenai
dugaan tindak pidana itu tidak terkait dengan kewenangan MK untuk menilai atau
mengadilinya, akan tetapi, jika suatu undang-undang disusun dan ditetapkan atas
dasar perbuatan pidana yang diancam dengan pidana menurut undang-undang, maka
proses pembentukan undang-undang yang bersangkutan dapat dinilai bertentangan dengan
prinsip dan prosedur pembentukan undang-undang yang baik.
Oleh karena itu, jika tuduhan mengenai adanya tindak pidana dalam
proses pembentukan undang-undang memang telah terbukti di pengadilan dengan
kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijs),
maka atas dasar itu MK dapat menyatakan bahwa pembentukan undang-undang yang
bersangkutan cacat hukum dan karenanya bertentangan dengan UUD, sehingga
menyatakan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.
Putusan
dan Akibat Hukumnya
Putusan MK harus memuat:
1. Kepala
putusan berbunyi: ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
2. Identitas
pihak;
3. Ringkasan
permohonan;
4. Pertimbangan
terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
5. Pertimbangan
hukum yang menjadi dasar putusan;
6. Amar
putusan; dan
7. Hari,
tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.
Dalam putusan itu harus dimuat pula pendapat hakim yang berbeda
terhadap putusan yang bersangkutan. Pendapat
hakim yang berbeda adalah pendapat hakim yang tidak mengikuti kesepakatan
mayoritas hakim yang menyusun keseluruhan isi putusan itu.
Pendapat hakim yang berbeda dapat dibagi tiga macam, yaitu:
a. dissenting opinion, apabila
pendapat yang diajukan itu sama sekali berbeda argumennya dan juga berbeda
kesimpulannya terhadap pendapat mayoritas hakim yang menjadi putusan final dan
mengikat;
b. concurrent opinion, jika
pendapat berbeda itu mempunyai kesimpulan pada amar putusan yang sama, tetapi
alasan yang dipergunakan untuk sampai pada kesimpulan itu berbeda (sifatnya
komplementer atau mendukung melalui pendekatan yang berbeda);
c. consenting opinion, pendapat
yang menyetujui kesimpulan yang dibuat dalam amar putusan, tetapi karena
argumen yang diajukan berbeda, dinilai layak untuk dirumuskan secara tersendiri
dalam putusan, tetapi tidak tergabung dalam pertimbangan mayoritas hakim yang
menjadi dasar putusan final.
Putusan MK hanya mengenal tiga alternatif putusan:
- Mengabulkan;
- Menolak; atau
- Menyatakan tidak dapat menerima (niet onvankelijk verklaard).
Akibat hukum terhadap putusan MK berkaitan dengan peraturan terkait, dan
terhadap subjek dan perbuatan hukum sebelum putusan.
Prosedur dan Tatacara Pengujian Oleh Mahkamah
Agung
Gugatan
dan Permohonan Keberatan
Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 tentang
Hak Uji Materiil disebutkan bahwa Hak Uji Materiil dalam Hak Mahkamah Agung
untuk menguji secara materiil terhadap peraturan perundang-undangan, sehubungan
dengan adanya gugatan atau permohonan keberatan. Peraturan perundang-undangan
yang diuji dalam Hak Mahkamah Agung ini adalah suatu peraturan yang mengikat
secara umum di bawah Undang-undang.
Kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan hak menguji
materiil terhadap peraturan perundang-undangan yang mengikat umum yang
tingkatannya di bawah undang-undang dapat melalui dua cara yaitu :
a.
Gugatan Hak Uji Materiil
b.
Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil
Gugatan adalah
tuntutan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara terhadap peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-undang dan diajukan ke Mahkamah Agung untuk
mendapatkan putusan. Di mana penggugat adalah seseorang, badan hukum perdata,
kelompok masyarakat yang mengajukan gugatan Hak Uji Materiil kepada Mahkamah
Agung dan tergugatnya adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang digugat.
Permohonan Keberatan adalah suatu permohonan yang berisi
keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan diajukan
ke Mahkamah Agung. Sementara yang menjadi Pemohonan Keberatan adalah kelompok
masyarakat yang mengajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas
berlakunya suatu peraturan perundang-undangan.
Tatacara
Pengajuan Gugatan dan Permohonan Keberatan
Terhadap prosedur gugatan hak uji materiil yang diajukan
ke Mahkamah Agung dapat dilakukan dengan
2 (dua) cara, yaitu :
1.
Langsung ke Mahkamah Agung.
2.
Melalui Pengadilan Negeri di wilayah hukum tempat
kedudukan tergugat.
Gugatan hak uji materiil hanya dapat diajukan terhadap
satu persatu perundang-undangan, kecuali terhadap peraturan perundang-undangan
yang saling berkaitan secara langsung. Gugatan dibuat rangkap seperlunya dengan
menyebutkan sejelas-jelasnya
alasan-alasan yang dijadikan dasar gugatannya dan harus ditanda tangan oleh Penggugat
atau kuasanya yang sah. Gugatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus
delapan puluh) hari sejak berlakunya peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan.
Ketentuan mengenai tata cara pengajuan gugatan hak
menguji materiil langsung kepada Mahkamah Agung dapat dilihat pada pasal 3 Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999, yang menyebutkan bahwa :
Gugatan
diajukan langsung ke Mahkamah Agung, didaftarkan di kepaniteraan Mahkamah Agung
dan dibukukan dalam buku register tersendiri dengan menggunakan kode : …
G/HUM/Th … . Panitera Mahkamah Agung
kemudian memeriksa kelengkapan berkas dan apabila terdapat kekurangan dapat
meminta langsung kepada Penggugat atau kuasanya yang sah. Panitera Mahkamah
Agung wajib mengirimkan salinan gugatan tersebut kepada pihak Tergugat setelah
terpenuhi kelengkapan berkasnya, dan Tergugat wajib mengirimkan atau
menyerahkan jawabannya kepada Panitera Mahkamah Agung dalam waktu 14 (empat
belas) hari sejak diterima salinan gugatan tersebut. Panitera Mahkamah Agung
menyampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk ditetapkan Majelis Hakim Agung
setelah lengkap berkas gugatan tersebut.
Sedangkan ketentuan mengenai tata cara pengajuan gugatan
hak uji materiil melalui Pengadilan Negeri di wilayah hukum tempat kedudukan
tergugat dilaksanakan berdasarkan pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 1999, yang menyebutkan bahwa :
Dalam hal
gugatan diajukan melalui Pengadilan Negeri setempat, didaftarkan pada
kepaniteraan dan dibukukan dalam buku register perkara tersendiri dengan
menggunakan kode : … G/HUM/Th …/PN …
setelah Penggugat atau kuasanya membayar biaya perkara dan diberikan
tanda terima biaya perkara tersebut. Panitera Pengadilan Negeri kemudian
memeriksa kelengkapan gugatan yang telah didaftarkan oleh Penggugat atau
kuasanya yang sah. Panitera Pengadilan Negeri sebelum meneruskan berkas gugatan
kepada Mahkamah Agung terlebih dahulu wajib mengirimkan salinan gugatan kepada
Tergugat untuk mendapatkan jawaban atas gugatan Penggugat, dan Tergugat dalam
waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan gugatan tersebut harus
mengirim atau menyerahkan jawabannya kepada Panitera Pengadilan Negeri yang
bersangkutan. Panitera Pengadilan Negeri yang bersangkutan segera
mengirimkan kepada Mahkamah Agung pada
hari berikutnya setelah tenggang waktu di atas selesai. Panitera Mahkamah Agung menyampaikan kepada Ketua
Mahkamah Agung untuk ditetapkan Majelis Hakim Agung.
Sementara itu untuk permohonan keberatan hak uji materiil
yang diajukan kepada Mahkamah Agung dapat dilakukan dengan cara :
1. Langsung
ke Mahkamah Agung.
2. Melalui
Pengadilan Negeri di wilayah hukum tempat kedudukan pemohon.
Permohonan Keberatan hanya dapat diajukan terhadap satu
peraturan perundang-undangan, kecuali terhadap peraturan perundang-undangan
yang saling berkaitan secara langsung. Permohonan Keberatan dibuat rangkap
seperlunya dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan-alasan yang dijadikan
dasar keberatan dan wajib ditanda tangani oleh Pemohon atau kuasanya yang sah.
Permohonan Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh)
hari sejak berlakunya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Dalam hal pemohonan kebertan diajukan langsung ke
Mahkamah Agung, didaftarkan di kepaniteraan Mahkamah Agung dan dibukukan dalam
buku register tersendiri dengan menggunakan kode : … P/HUM/Th … . Panitera
Mahkamah Agung kemudian memeriksa kelengkapan berkas dan apabila
terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada Pemohon Keberatan atau
kuasanya yang sah. Panitera Mahkamah
Agung menyampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk ditetapkan Majelis Hakim
Agung, setelah lengkap berkas permohonan keberatan tersebut.
Sedangkan dalam hal permohonan keberatan diajukan melalui
Pengadilan Negeri setempat, didaftarkan pada kepaniteraan dan dibukukan dalam
buku register permohonan tersendiri dengan menggunakan kode : … P/HUM/Th/PN … setelah Pemohon atau kuasanya yang sah
membayar biaya permohonan dan diberikan tanda terima. Panitera Pengadilan
Negeri kemudian memeriksa kelengkapan
permohonan keberatan yang telah didaftarkan oleh Pemohon atau kuasanya yang
sah, dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada Pemohon atau
kuasanya yang sah. Panitera Pengadilan
Negeri yang bersangkutan segera mengirimkan kepada Mahkamah Agung pada hari berikutnya.
Panitera Mahkamah Agung menyampaikan
kepada Ketua Mahkamah Agung untuk ditetapkan Majelis Hakim Agung.
Dalam persidangan hak uji materiil, Ketua Mahkamah Agung
menetapkan Mejelis Hakim Agung yang akan memeriksa dan memutus tentang
permohonan Hak Uji Materiil tersebut, baik terhadap gugatan maupun permohonan
keberatan. Majelis Hakim Agung memeriksa dan memutus gugatan dan permohonan
keberatan tentang Hak Uji Materiil tersebut dengan menerapkan ketentuan hukum
yang berlaku bagi perkara gugatan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya sesuai
dengan azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa gugatan dan
permohonan keberatan tersebut beralasan, karena peraturan perundang-undangan
dimaksud bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi Mahkamah Agung mengabulkan gugatan tersebut. Mahkamah Agung
dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang digugat
tersebut sebagai tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan
dengan segera pencabutannya kepada instansi yang bersangkutan. Namun apabila
dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa gugatan itu tidak beralasan, Majelis
Hakim Agung menolak gugatan tersebut. Putusan Majelis Hakim Agung terhadap
gugatan Hak Uji Materiil akan dilakukan setelah pihak Tergugat didengar
jawabannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar