Minggu, 12 Juni 2016

Pengertian dan Peristilahan Hak Menguji materiil

HAK MENGUJI (Toetsingsrecht)

Pengertian dan Peristilahan Hak Menguji
*      Hak Menguji (toetsingsrecht) berkaitan dengan sistem perundang-undangan yang berlaku di suatu negara.
Sistem perundang-undangan terbentuk dalam suatu sistem dan tersusun secara hierarkis yang disebut dengan hierarkis peraturan perundang-undangan.
Hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia (Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004):
  1. Undang-Undang Dasar;
  2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  3. Peraturan Pemerintah;
  4. Peraturan Presiden;
  5. Peraturan Daerah.
(Hierarkis diartikan sebagai tingkatan atau jenjang dan bukannya tata urutan)
Dalam pembentukan aturan hukum sesuai hierarkis peraturan perundang-undangan di atas didasarkan pada Stuffenbou Theory.
Hak Menguji peraturan perundang-undangan adalah wewenang untuk memeriksa dan menilai berlakunya suatu jenis peraturan perundang-undangan berdasarkan kerangka atau sistem peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam suatu negara.
 Hak Menguji (Toetsingsrecht) ada 2 macam:
  1. Hak Menguji Formal (formele toetsingsrecht);
  2. Hak Menguji Material (materiele toetsingsrecht)
v  Hak Menguji Formal (formele toetsingsrecht) adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk dari lembaga legislatif, seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak.
v  Hak Menguji Material (materiele toetsingsrecht) adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi apakah suatu peraturan perundang-undangan sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.

Dari pengertian di atas, maka peristilahan hak menguji (toetsingsrecht) tidak sama dengan istilah judicial review. Berkenaan dengan hak menguji, maka wewenang tersebut dapat dilaksanakan oleh lembaga legislatif, eksekutif maupun judisial. Oleh karena itu, penggunaan istilah hak menguji (toetsingsrecht) yang diartikan sebagai judicial review adalah suatu kekeliruan.

Pengujian Peraturan Perundang-undangan
*      Pengujian Norma Hukum
Dalam praktek, dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji (norm control mechanism), diantaranya:
1.      yang berisi atau bersifat pengaturan (regeling),
2.      yang berisi atau bersifat penetapan administratif/keputusan (beschikking),
3.      yang berisi atau bersifat penghakiman (vonnis).
Ketiga norma hukum di atas sama-sama dapat diuji kebenarannya melalui mekanisme peradilan (justisial) maupun non-justisial. Pengujian yang dilakukan oleh lembaga peradilan, maka proses pengujiannya disebut judicial review, pengujian yang dilakukan oleh lembaga legislatif disebut legislative review, dan pengujian yang dilakukan oleh lembaga eksekutif disebut executive review.

*      Preview dan Review
Review berasal dari kata re dan view yang berarti memandang, menilai, atau menguji kembali.
Preview berasal dari kata pre dan view yang berarti kegiatan memandangi sesuatu lebih dulu dari sempurnanya keadaan atau objek yang dipandang itu.

Dalam kaitan dengan pengujian yang dilakukan oleh lembaga peradilan, maka hanya dapat menggunakan istilah judicial review dan tidak dapat digunakan istilah judicial preview. Hal ini disebabkan karena objek peraturan perundang-undangan memiliki dimensi yang berbeda pada saat sebelum dan sesudah resmi berlaku. Berkaitan dengan pengujian yang dilakukan secara preview, hal ini hanya dapat dilakukan oleh lembaga legislatif untuk menguji produk legislasi (legislative acts) yang berupa RUU yang dapat dilakukan melalui mekanisme konsultasi publik. Hal ini dapat disebut dengan istilah legislative preview. Demikian juga oleh lembaga eksekutif terhadap produk regulasi (executive acts/regulating acts) yang disebut dengan istilah executive preview.

*      Pengujian Konstitusionalitas dan Legalitas
Pengujian konstitusionalitas undang-undang adalah pengujian mengenai nilai konstitusionalitas undang-undang itu, baik dari segi formil ataupun materiil.
Pengujian ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, atau disebut dengan menguji the constitutionality of legislative law or legislation.
Alat pengukur untuk menilai atau menguji konstitusionalitas suatu undang-undang, diantaranya:
  1. naskah UUD yang resmi tertulis;
  2. dokumen-dokumen tertulis yang terkait erat dengan naskah UUD itu;
  3. nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam praktek ketatanegaraan yang telah dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keharusan dan kebiasaan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara;
  4. nilai-nilai yang hidup dalam kesadaran kognitif rakyat serta kenyataan perilaku politik dan hukum warga negara yang dianggap sebagai kebiasaan dan keharusan-keharusan yang ideal dalam peri-kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU yang dilakukan oleh Mahkamah Agung didasarkan pada pengujian legalitas, dimana indikator pengujian yang dilakukan adalah UU yang menjadi dasar dikeluarkannya peraturan perundang-undangan di bawah UU.

Hasil dari pengujian konstitusionalitas dapat berupa UU yang konstitusional (sesuai dengan konstitusi) dan UU yang inkonstitusional.
Hasil dari pengujian legalitas dapat berupa peraturan perundang-undangan di bawah UU legal atau sah dan peraturan perundang-undangan di bawah UU yang illegal atau tidak sah.

*      Objek Pengujian
Yang menjadi objek dalam pengujian peraturan perundang-undangan adalah:
1.      Produk Legislatif (Legislative Acts)
2.      Produk Regulatif (Executive Acts)
Produk legislatif (Legislative Acts) adalah produk peraturan yang ditetapkan oleh atau dengan melibatkan peran lembaga perwakilan rakyat, baik sebagai legislator ataupun co-legislator.

Note: Dimanakah kedudukan Dewan Perwakilan Daerah? Apakah sebagai legislator  atau co-legislator? Bagaimana dengan kedudukan Presiden?

Kedudukan para wakil rakyat sebagai pembentuk UU, maka setiap UU sebagai produk legislatif tidak boleh diubah atau dibatalkan oleh pemerintah tanpa persetujuan lembaga perwakilan rakyat yang membentuknya.
Lembaga-lembaga eksekutif hanya diperkenankan untuk membuat aturan untuk menjabarkan produk legislatif berdasarkan delegasi kewenangan (self regulatory body), dan produk hukum berupa pengaturan yang dibuat disebut sebagai Executive Acts atau Regulative Acts dan bukan produk legislatif (Legislative Acts).

Note:
  1. Bagaimana dengan produk Peraturan Daerah? Apakah sebagai Legislative Acts atau Executive Acts?
  2. Perpu sebagai Legislative Acts atau Executive Acts? Perpu diuji oleh Mahkamah Konsitusi atau Mahkamah Agung?
  3. Dalam setiap UU ada terdapat Lampiran UU. Apakah Lampiran UU dapat diuji di Mahkamah Konstitusi?
Hak Menguji Materiil di Beberapa Negara
*      Hak Menguji Negara Amerika Serikat
Hak menguji dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (Supreme Court) berdasarkan Pasal III ayat (1) dan (2) Konstitusi AS. Pelaksanaan judicial review dilakukan oleh Badan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung.
Konstitusi AS tidak mengatur tentang judicial review,  tetapi dalam Pasal 6 Bagian 2 Konstitusi AS ditentukan bahwa ”the constitusional, laws, and the treaties of the United States merupakan Supreme Laws of the land”. Hal ini menunjukkan bahwa para hakim berkewajiban untuk menjaga agar tidak terjadi adanya suatu peraturan yang bertentangan dengan the constitutional, laws, and the treaties of the United States.

Pemikiran tentang judicial review pertama kali dikemukakan oleh Alexander Hamilton yang mengemukakan bahwa perlu adanya jaminan terhadap undang-undang yang tidak diatur dalam konstitusi dan penafsiran terhadap undang-undang menjadi kewenangan peradilan setelah undang-undang tersebut ditetapkan oleh lembaga legislatif.
Argumentasi ini mendasari kewenangan peradilan untuk melakukan pengawasan konstitusi berupa judicial review  oleh Mahkamah Agung. Hal ini pertama kali dilakukan oleh Chief Justice John Marshall dalam perkara Marbury vs Madison pada tahun 1803.

Ada 2 (dua) pandangan berkaitan dengan kekuasaan Mahkamah Agung dalam melakukan judicial review, yaitu :
a)      pandangan yang menyatakan bahwa judicial review merupakan kekuasaan otomatis Mahkamah Agung (automatic power of the Supreme Court);
Konstitusi sebagai hukum tertinggi dan segala peraturan yang bertentangan merupakan kewajiban Mahkamah Agung untuk menyatakannya sebagai unconstitutional.
b)      pandangan yang beranggapan bahwa judicial review merupakan kekuasaan yang merdeka (bebas) dari Mahkamah Agung (discretionary power of the Supreme Court).
Yang diatur dalam konstitusi adalah buatan manusia, dan apabila konstitusi menjadi tidak jelas atau kabur maknanya, maka kewajiban serta hak Mahkamah Agung untuk memperjelas atau menegaskan ketentuan-ketentuan yang tidak jelas.

Dalam kaitan dengan pelaksanaan judicial review, AS sebagai negara dengan sistem common law menggunakan sistem decentralized review dan the rule of stare decisis. Sistem decentralized review dilakukan oleh karena tidak adanya mahkamah yang khusus mengatur tentang sengketa yang timbul dengan penafsiran konstitusi, sedangkan the rule of stare decisis (putusan secara langsung yang didasarkan pada putusan sebelumnya).

Putusan pengadilan di AS mengenai judicial review adalah putusan inter partes, yaitu putusan yang akibat-akibatnya hanya berlaku pada perkara yang diputus. Dengan adanya stare dicisis, daya mengikat putusan ini diperluas karena putusan Mahkamah Agung AS mengikat pula semua pengadilan bawahan (binding authority).

*      Hak Menguji Republik Perancis
Republik Perancis merupakan negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil law) dan teori pemisahan kekuasaan murni (the pure theory of the separation of power).
Peradilan di Republik Perancis memiliki ciri khusus dengan adanya peradilan administrasi, peradilan umum dan peradilan khusus. Hal ini berakibat pada penerapan hukum yang berbeda bagi warga negara dan perusahaan (private business) dengan pegawai administrasi pemerintah (governing public administration). Peradilan umum dinamakan Tribunal de l’ Ordre Judiciare yang berpuncak pada La Cour de Cassation dan Tribunal de’ l Ordre Administratif (Peradilan Administrasi Negara). Apabila terjadi sengketa jurisdiksi antara badan peradilan umum dan badan peradilan administrasi, maka akan diperiksa dan diputus oleh peradilan kolegial yang disebut Tribunal Des Conflicts.

Dewan Konstitusi (The Constitutional Council) bertugas menguji UU yang diputuskan oleh Parlemen yang menghendaki penyempurnaan terhadap konstitusi. Dewan Konstitusi bukan merupakan Supreme Court sebab badan tersebut bukanlah hierarki dari Peradilan Administrasi, Peradilan Umum dan Peradilan Khusus. Dewan Konstitusi merupakan ”penjamin” konstitusi yang bertugas untuk menjaga isi konstitusi dengan wewenang melaksanakan hak menguji. Dewan Konstitusi tidak melaksanakan fungsi judicial, namun cara peninjauan masalah menggunakan ukuran hukum yang terdapat dalam konstitusi dan bukan kriteria politik.

*      Hak Menguji Republik Federal Jerman
Negara Republik Jerman memiliki Mahkamah Konstitusi Federal (Bundesverfassungsgericht: BverfG) yang diatur dalam Bab IV tentang Administration of Justice Pasal 93, Pasal 94, Pasal 99, dan Pasal 100 Konstitusi Negara Republik Federal Jerman.
Mahkamah Konsitusi Federal (Federal Constitutional Courts) adalah satu-satunya badan peradilan pada negara Republik Federal Jerman yang berwenang melakukan constitutional review (Staatsgerichtsbarkeit). Mahkamah Konstitusi Federal tidak memiliki pengadilan bawahan maupun atasan dan terpisah dari Mahkamah Agung Federal yang terdiri dari the Federal Administrative Court, the Federal Fiscal Court, the Federal Labour Court, the Federal Social Court, dan the Federal Court of Justice, namun sebagai pelindung Basic Law, Mahkamah Konstitusi Federal dapat membatalkan putusan Mahkamah Agung Federal yang bertentangan dengan Basic Law dan putusannya bersifat erga omnes.

Tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi Federal adalah sebagai berikut:
1)      Mahkamah Konstitusi Federal berwenang memecat (impeach) Presiden Federal;
2)      Mahkamah Konstitusi Federal berwenang dalam hal terjadi perselisihan antara lembaga-lembaga dalam pemerintah federal (disputes between branches of federal foverment);
3)      Mahkamah Konstitusi Federal berwenang melakukan abstract judicial review berkaitan dengan terjadinya perbedaan pendapat atau keragu-raguan mengenai kesesuaian dalam hal formal maupun material antara UU Federal Negara atau UU Federal Bagian dengan Basic Law, atau kesesuaian UU Negara Bagian dengan UU Negara Federal;
4)      Mahkamah Konstitusi Federal berwenang dalam hal terjadi perselisihan antara federation dan negara bagian;
5)      Mahkamah Konstitusi Federal berwenang melakukan constitutional complaint berkaitan dengan dilanggarnya hak-hak konstitusional warga negara oleh pemerintah;
6)      Mahkamah Konstitusi Federal berwenang memberikan putusan terhadap kasus-kasus lain dalam hal ditentukan oleh UU Federal;
7)      Mahkamah Konstitusi Federal berwenang untuk melakukan konkrete Normenkonrolle berkaitan dengan konstitusionalitas suatu UU.

*      Hak Menguji Negara Kerajaan Inggris
Negara Inggris merupakan negara yang menganut sistem supremasi parlemen dan tidak memiliki konstitusi dalam dokumen tertulis. Hal ini menyebabkan Inggris sebagai salah satu negara yang tidak mengatur tentang judicial review. Praktek judicial review hanya terbatas pada tindakan administrasi negara atau tindakan eksekutif.
Negara Inggris menganut sistem unity of jurisdiction sehingga judicial review ditangani oleh pengadilan umum. Judicial review dilaksanakan dalam arti terbatas yang didasarkan pada doktrin Ultra Vires.

Permohonan judicial review hanya dapat dilakukan berdasarkan salah satu dari tiga hal berikut, yaitu illegality (tidak sah), irrasionality (tidak rasional), dan procedural impropriety (salah prosedur). Walaupun pengadilan memutuskan tidak berlaku (invalid), pengadilan tidak dapat menggantikan keputusan tersebut. Pengadilan hanya dapat mengembalikan keputusan tersebut kepada pembuat keputusan agar putusan pengadilan dapat dijadikan pertimbangan.

Pengadilan hanya dapat melakukan review terhadap subordinate legislation dan dapat menyatakan peraturan tersebut invalid. Subordinate legislation berkaitan dengan klasifikasi berdasarkan tujuan dan prosedur. Selain judicial review cara lain yang dapat digunakan untuk mengontrol subordinate legislation adalah pre-drafting consultation, parliamentary proceedings dan joint committeeon statutory instruments.
Judicial review tidak dapat dilakukan terhadap pelaksanaan wewenang diskresi pemerintah, namun pemerintah tidak dapat bertindak secara sewenang-wenang atau secara umum disebut unreasonable.

Note: Buat analisis perbedaan antara konsep hak menguji di Indonesia dengan Negara AS, Republik Perancis, Republik Federal Jerman, dan Negara Kerajaan Inggris.


Pengaturan Hak Menguji Dalam Perundang-undangan di Indonesia
*      Hak Menguji UU Terhadap UUD
ü  UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24C ayat (1).
ü  UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 12 ayat (1) huruf a
ü  UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 huruf a.

*      Hak Menguji Peraturan Perundang-Undangan di bawah UU Terhadap UU
ü  UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24A ayat (1).
ü  UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman, Pasal 11 ayat (2) dan (3)
ü  UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, Pasal 31 dan Pasal 31A

Sebelum peraturan perundang-undangan di atas, hak menguji diatur dalam Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan PERMA Nomor 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji.


Prosedur dan Tatacara Pengujian Oleh Mahkamah Konstitusi
*      Pemohon dan Permohonan
a.      Pemohon Pengujian
1)      Persyaratan Legal Standing Pemohon
Semua perkara konstitusi di MK disebut sebagai perkara permohonan, bukan gugatan.
Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut undang-undang untuk mengajukan permohonan perkara konstitusi kepada MK. Pemenuhan syarat-syarat tersebut menentukan kedudukan hukum (legal standing) suatu subjek hukum untuk menjadi pemohon yang sah dalam perkara pengujian undang-undang.
Persyaratan legal standing mencakup syarat formal (status hukum pemohon) dan syarat materiil (kerugian hak atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang dipersoalkan.

Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :
a.      Perorangan WNI;
b.      Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang;
c.      Badan hukum publik atau privat;
d.     Lembaga negara.
Hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kesimpulan:
Pemohon yang memiliki legal standing haruslah:
·         salah satu dari keempat kelompok subjek hukum;
·         bahwa subjek hukum dimaksud memang mempunyai hak-hak atau kewenangan-kewenangan sebagaimana diatur dalam UUD 1945;
·         bahwa hak atau kewenangan konstitusional yang bersangkutan memang telah dirugikan atau dilanggar oleh berlakunya undang-undang atau bagian dari undang-undang yang dipersoalkan itu;
·         bahwa adanya atau timbulnya kerugian dimaksud memang terbukti mempunyai hubungan sebab akibat atau hubungan kausal (causal verband) dengan berlakunya undang-undang yang dimaksud;
·         bahwa apabila permohonan yang bersangkutan kelak dikabulkan, maka kerugian konstitusional yang bersangkutan memang dapat dipulihkan kembali dengan dibatalkannya undang-undang dimaksud.

Apabila tidak terpenuhi legal standing, maka permohonan dinyatakan Permohonan Tidak Dapat Diterima atau Niet Onvantkelijk Verklaard (NO), sedangkan apabila dalil tidak terbukti, maka amarnya menyatakan Menolak Permohonan Pemohon.

b.      Permohonan Perkara
Permohonan pengujian UU meliputi pengujian formil dan/atau pengujian materiil. Pengujian formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil, sedangkan pengujian materiil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh Pemohon atau Kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap yang memuat:
i.       Identitas Pemohon, meliputi: nama, tempat/tanggal lahir/umur, agama, pekerjaan, kewarganegaraan, alamat lengkap, nomor telpon/faksimili/ telpon selular/e-mail.
ii.     Uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi:
1.      kewenangan MK dalam pengujian UU (formil dan materiil);
2.      kedudukan hukum Pemohon yang berisi uraian yang jelas mengenai anggapan Pemohon tentang hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU yang dimohonkan untuk diuji;
3.      alasan permohonan pengujian formil maupun materiil, diuraikan secara jelas dan rinci.
iii.  Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian formil, yaitu:
1.      mengabulkan permohonan Pemohon;
2.      menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945;
3.      menyatakan undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
iv.   Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian materiil, yaitu:
1.      mengabulkan permohonan Pemohon;
2.      menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang dimaksud bertentangan dengan UUD 1945;
3.      menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Di samping diajukan dalam bentuk tertulis, permohonan juga diajukan dalam format digital yang disimpan secara elektronik dalam media penyimpanan berupa disket, cakram padat (compact disk) atau yang serupa dengan itu.
Setelah permohonan disiapkan, Pemohon melakukan pendaftaran permohonan ke Panitera MK. Kemudian ditentukan Jadwal Sidang, Pemberitahuan dan Pemanggilan Pihak-pihak untuk menyampaikan keterangan.
Panitera MK akan melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan permohonan, dan apabila belum lengkap, maka Pemohon diminta untuk melengkapi kekurangan berkas-berkas permohonan tersebut (penelitian administratif).
*      Pemeriksaan Persidangan
1)      Pemeriksaan Pendahuluan (Preliminary session)
Pemeriksaan Pendahuluan didasarkan pada Pasal 39 UU No. 24 Tahun 2003:
(1)         Sebelum mulai memeriksa perkara, MK mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan;
(2)         Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), MK wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari.

Pemeriksaan pendahuluan merupakan proses pemeriksaan perkara tersendiri dari pemeriksaan persidangan. Pemeriksaan pendahuluan berkaitan dengan pemeriksaan atau penelitian administratif yang dilakukan oleh panitera MK, tetapi dalam pemeriksaan pendahuluan ini dilakukan dalam sidang terbuka.

Tujuan Pemeriksaan Pendahuluan:
a.      Memastikan kelengkapan berkas permohonan perkara pengujian undang-undang yang diajukan oleh pemohon sesuai dengan UU dan PMK;
b.      Memastikan kejelasan materi permohonan yang diajukan oleh pemohon, baik posita-nya, amar yang diminta, dan apa saja alat bukti yang sudah dan akan diajukan untuk mendukung dalil-dalil yang diajukan;
c.      Memastikan bahwa permohonan yang diajukan pemohon memang termasuk kewenangan MK untuk memeriksa dan mengadilinya, termasuk mengenai kejelasan apakah perkara tersebut berkenaan dengan pengujian undang-undang secara materiil atau formil;
d.     Memastikan kualitas kedudukan hukum pemohon yang mengajukan permohonan memang memenuhi syarat menurut ketentuan UU;
e.      Memastikan bahwa permohonan perkara pengujian undang-undang yang diajukan oleh pemohon itu memang sudah sesuai dengan ketentuan UU dan PMK.

2)      Pemeriksaan Oleh Panel
Pemeriksaan oleh panel hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas tiga orang hakim konstitusi adalah salah satu bentuk dari persidangan MK. Selain itu, terdapat sidang pleno hakim yang dihadiri sekurang-kurangnya tujuh orang hakim konstitusi.
Pemeriksaan oleh panel hakim tidak hanya terbatas kepada pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan lainnya terhadap permohonan dan pemohon, tetapi dapat pula menyangkut pokok perkara. Bahkan panel juga dapat melakukan pemeriksaan bukti-bukti.
Panel dapat difungsikan secara penuh sebagai alat perlengkapan MK untuk memeriksa suatu perkara, yang hasilnya langsung dilaporkan kepada forum rapat pleno permusyawaratan hakim yang bersifat tertutup untuk diambil putusan final atas perkara yang bersangkutan.

Hal-hal yang dapat dilakukan oleh panel hakim MK:
1.      Pemeriksaan kelengkapan permohonan dan kesesuaian permohonan itu dengan ketentuan UU dan PMK;
2.      Pemeriksaan mengenai kejelasan materi permohonan, termasuk mengenai maksud pengujian undang-undang yang diajukan, apakah bersifat materiil atau formil, kejelasan fundamentum petendi atau posita dan kejelasan petitum yang diminta dalam permohonan;
3.      Pemeriksaan mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan keberwenangan MK untuk memeriksa dan mengadili permohonan yang diajukan;
4.      Pemeriksaan mengenai pemenuhan syarat-syarat kedudukan hukum pemohon;
5.      Pemeriksaan terhadap keterangan saksi-saksi, keterangan ahli atau para ahli, dan pemeriksaan terhadap alat-alat bukti lainnya, seperti alat bukti surat dan sebagainya;
6.      Pemeriksaan terhadap keterangan pihak-pihak yang terkait kepentingannya, sehingga mengajukan permohonan untuk menyampaikan keterangan sebagai ad-informandum yang tidak mengikat.

3)      Pemeriksaan Oleh Pleno
Dalam memeriksa suatu permohonan pengujian undang-undang, jika MK memang menganggap penting untuk memanggil Presiden, DPR, DPD atau lembaga negara sederajat lainnya, maka MK selalu mengadakan persidangan dalam bentuk pleno yang harus dihadiri sekurang-kurangnya tujuh orang hakim konstitusi.

Sidang Pleno memeriksa hal-hal berikut ini:
a.      Pemeriksaan kelengkapan permohonan dan kesesuaian permohonan itu dengan ketentuan UU dan PMK;
b.      Pemeriksaan mengenai kejelasan materi permohonan, termasuk mengenai maksud pengujian undang-undang yang diajukan, apakah bersifat materiil atau formil, kejelasan fundamentum petendi atau posita dan kejelasan petita atau petitum yang diminta dalam permohonan;
c.      Permohonan mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan keberwenangan MK untuk memeriksa dan mengadili permohonan yang diajukan;
d.     Pemeriksaan mengenai pemenuhan syarat-syarat kedudukan hukum pemohon;
e.      Pemeriksaan terhadap keterangan saksi-saksi, keterangan ahli atau para ahli, dan pemeriksaan terhadap alat-alat bukti lainnya;
f.       Pemeriksaan terhadap keterangan pihak-pihak yang terkait kepentingannya, sehingga mengajukan permohonan untuk menyampaikan keterangan sebagai ad-informandum yang tidak mengikat;
g.      Pemeriksaan terhadap keterangan Presiden/Pemerintah yang diwakili oleh menteri atau menteri-menteri, DPR dan DPD.

Dalam persidangan perkara pengujian undang-undang seringkali para pemohon mendalilkan adanya dugaan tindak pidana penyuapan atau korupsi dalam proses pembentukan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Meskipun mengenai dugaan tindak pidana itu tidak terkait dengan kewenangan MK untuk menilai atau mengadilinya, akan tetapi, jika suatu undang-undang disusun dan ditetapkan atas dasar perbuatan pidana yang diancam dengan pidana menurut undang-undang, maka proses pembentukan undang-undang yang bersangkutan dapat dinilai bertentangan dengan prinsip dan prosedur pembentukan undang-undang yang baik.

Oleh karena itu, jika tuduhan mengenai adanya tindak pidana dalam proses pembentukan undang-undang memang telah terbukti di pengadilan dengan kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijs), maka atas dasar itu MK dapat menyatakan bahwa pembentukan undang-undang yang bersangkutan cacat hukum dan karenanya bertentangan dengan UUD, sehingga menyatakan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.

*      Putusan dan Akibat Hukumnya
Putusan MK harus memuat:
1.      Kepala putusan berbunyi: ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
2.      Identitas pihak;
3.      Ringkasan permohonan;
4.      Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
5.      Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
6.      Amar putusan; dan
7.      Hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.

Dalam putusan itu harus dimuat pula pendapat hakim yang berbeda terhadap putusan yang bersangkutan. Pendapat hakim yang berbeda adalah pendapat hakim yang tidak mengikuti kesepakatan mayoritas hakim yang menyusun keseluruhan isi putusan itu.
Pendapat hakim yang berbeda dapat dibagi tiga macam, yaitu:
a.      dissenting opinion, apabila pendapat yang diajukan itu sama sekali berbeda argumennya dan juga berbeda kesimpulannya terhadap pendapat mayoritas hakim yang menjadi putusan final dan mengikat;
b.      concurrent opinion, jika pendapat berbeda itu mempunyai kesimpulan pada amar putusan yang sama, tetapi alasan yang dipergunakan untuk sampai pada kesimpulan itu berbeda (sifatnya komplementer atau mendukung melalui pendekatan yang berbeda);
c.      consenting opinion, pendapat yang menyetujui kesimpulan yang dibuat dalam amar putusan, tetapi karena argumen yang diajukan berbeda, dinilai layak untuk dirumuskan secara tersendiri dalam putusan, tetapi tidak tergabung dalam pertimbangan mayoritas hakim yang menjadi dasar putusan final.

Putusan MK hanya mengenal tiga alternatif putusan:
  1. Mengabulkan;
  2. Menolak; atau
  3. Menyatakan tidak dapat menerima (niet onvankelijk verklaard).

Akibat hukum terhadap putusan MK berkaitan dengan peraturan terkait, dan terhadap subjek dan perbuatan hukum sebelum putusan.


Prosedur dan Tatacara Pengujian Oleh Mahkamah Agung
*      Gugatan dan Permohonan Keberatan
Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materiil disebutkan bahwa Hak Uji Materiil dalam Hak Mahkamah Agung untuk menguji secara materiil terhadap peraturan perundang-undangan, sehubungan dengan adanya gugatan atau permohonan keberatan. Peraturan perundang-undangan yang diuji dalam Hak Mahkamah Agung ini adalah suatu peraturan yang mengikat secara umum di bawah Undang-undang.
Kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan hak menguji materiil terhadap peraturan perundang-undangan yang mengikat umum yang tingkatannya di bawah undang-undang dapat melalui dua cara yaitu :
a.      Gugatan Hak Uji Materiil
b.      Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil
Gugatan adalah tuntutan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dan diajukan ke Mahkamah Agung untuk mendapatkan putusan. Di mana penggugat adalah seseorang, badan hukum perdata, kelompok masyarakat yang mengajukan gugatan Hak Uji Materiil kepada Mahkamah Agung dan tergugatnya adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang digugat.
Permohonan Keberatan adalah suatu permohonan yang berisi keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan diajukan ke Mahkamah Agung. Sementara yang menjadi Pemohonan Keberatan adalah kelompok masyarakat yang mengajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan.


*      Tatacara Pengajuan Gugatan dan Permohonan Keberatan
Terhadap prosedur gugatan hak uji materiil yang diajukan ke Mahkamah Agung  dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu :
1.      Langsung ke Mahkamah Agung.
2.      Melalui Pengadilan Negeri di wilayah hukum tempat kedudukan tergugat.
Gugatan hak uji materiil hanya dapat diajukan terhadap satu persatu perundang-undangan, kecuali terhadap peraturan perundang-undangan yang saling berkaitan secara langsung. Gugatan dibuat rangkap seperlunya dengan menyebutkan  sejelas-jelasnya alasan-alasan yang dijadikan dasar gugatannya dan harus ditanda tangan oleh Penggugat atau kuasanya yang sah. Gugatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak berlakunya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Ketentuan mengenai tata cara pengajuan gugatan hak menguji materiil langsung kepada Mahkamah Agung dapat dilihat pada pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999, yang menyebutkan bahwa :
Gugatan diajukan langsung ke Mahkamah Agung, didaftarkan di kepaniteraan Mahkamah Agung dan dibukukan dalam buku register tersendiri dengan menggunakan kode : … G/HUM/Th …  . Panitera Mahkamah Agung kemudian memeriksa kelengkapan berkas dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada Penggugat atau kuasanya yang sah. Panitera Mahkamah Agung wajib mengirimkan salinan gugatan tersebut kepada pihak Tergugat setelah terpenuhi kelengkapan berkasnya, dan Tergugat wajib mengirimkan atau menyerahkan jawabannya kepada Panitera Mahkamah Agung dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterima salinan gugatan tersebut. Panitera Mahkamah Agung menyampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk ditetapkan Majelis Hakim Agung setelah lengkap berkas gugatan tersebut.
Sedangkan ketentuan mengenai tata cara pengajuan gugatan hak uji materiil melalui Pengadilan Negeri di wilayah hukum tempat kedudukan tergugat dilaksanakan berdasarkan pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999, yang menyebutkan bahwa :
Dalam hal gugatan diajukan melalui Pengadilan Negeri setempat, didaftarkan pada kepaniteraan dan dibukukan dalam buku register perkara tersendiri dengan menggunakan kode : … G/HUM/Th …/PN …  setelah Penggugat atau kuasanya membayar biaya perkara dan diberikan tanda terima biaya perkara tersebut. Panitera Pengadilan Negeri kemudian memeriksa kelengkapan gugatan yang telah didaftarkan oleh Penggugat atau kuasanya yang sah. Panitera Pengadilan Negeri sebelum meneruskan berkas gugatan kepada Mahkamah Agung terlebih dahulu wajib mengirimkan salinan gugatan kepada Tergugat untuk mendapatkan jawaban atas gugatan Penggugat, dan Tergugat dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan gugatan tersebut harus mengirim atau menyerahkan jawabannya kepada Panitera Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Panitera Pengadilan Negeri yang bersangkutan segera mengirimkan  kepada Mahkamah Agung pada hari berikutnya setelah tenggang waktu di atas selesai. Panitera  Mahkamah Agung menyampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk ditetapkan Majelis Hakim Agung.
Sementara itu untuk permohonan keberatan hak uji materiil yang diajukan kepada Mahkamah Agung dapat dilakukan dengan cara :
1.     Langsung ke Mahkamah Agung.
2.     Melalui Pengadilan Negeri di wilayah hukum tempat kedudukan pemohon.
Permohonan Keberatan hanya dapat diajukan terhadap satu peraturan perundang-undangan, kecuali terhadap peraturan perundang-undangan yang saling berkaitan secara langsung. Permohonan Keberatan dibuat rangkap seperlunya dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan-alasan yang dijadikan dasar keberatan dan wajib ditanda tangani oleh Pemohon atau kuasanya yang sah. Permohonan Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak berlakunya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Dalam hal pemohonan kebertan diajukan langsung ke Mahkamah Agung, didaftarkan di kepaniteraan Mahkamah Agung dan dibukukan dalam buku register tersendiri dengan menggunakan kode : … P/HUM/Th …  . Panitera  Mahkamah Agung kemudian memeriksa kelengkapan berkas dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada Pemohon Keberatan atau kuasanya yang sah. Panitera  Mahkamah Agung menyampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk ditetapkan Majelis Hakim Agung, setelah lengkap berkas permohonan keberatan tersebut.
Sedangkan dalam hal permohonan keberatan diajukan melalui Pengadilan Negeri setempat, didaftarkan pada kepaniteraan dan dibukukan dalam buku register permohonan tersendiri dengan menggunakan kode :        … P/HUM/Th/PN …   setelah Pemohon atau kuasanya yang sah membayar biaya permohonan dan diberikan tanda terima. Panitera Pengadilan Negeri kemudian memeriksa  kelengkapan permohonan keberatan yang telah didaftarkan oleh Pemohon atau kuasanya yang sah, dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada Pemohon atau kuasanya yang sah.  Panitera Pengadilan Negeri yang bersangkutan segera mengirimkan kepada  Mahkamah Agung pada hari berikutnya. Panitera  Mahkamah Agung menyampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk ditetapkan Majelis Hakim Agung.
Dalam persidangan hak uji materiil, Ketua Mahkamah Agung menetapkan Mejelis Hakim Agung yang akan memeriksa dan memutus tentang permohonan Hak Uji Materiil tersebut, baik terhadap gugatan maupun permohonan keberatan. Majelis Hakim Agung memeriksa dan memutus gugatan dan permohonan keberatan tentang Hak Uji Materiil tersebut dengan menerapkan ketentuan hukum yang berlaku bagi perkara gugatan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya sesuai dengan azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa gugatan dan permohonan keberatan tersebut beralasan, karena peraturan perundang-undangan dimaksud bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi Mahkamah Agung mengabulkan gugatan tersebut. Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang digugat tersebut sebagai tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan dengan segera pencabutannya kepada instansi yang bersangkutan. Namun apabila dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa gugatan itu tidak beralasan, Majelis Hakim Agung menolak gugatan tersebut. Putusan Majelis Hakim Agung terhadap gugatan Hak Uji Materiil akan dilakukan setelah pihak Tergugat didengar jawabannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar