Refrensi materi kuliah
HAK MENGUJI MATERIIL
A). pengertian hak menguji
Hak
Menguji (toetsingsrecht)
berkaitan dengan sistem perundang-undangan yang berlaku di suatu Negara. Hak
Menguji peraturan perundang-undangan
adalah wewenang untuk memeriksa dan menilai berlakunya suatu jenis peraturan
perundang-undangan berdasarkan kerangka atau sistem peraturan
perundang-undangan yang terdapat dalam suatu negara.
Hak
Menguji (Toetsingsrecht) ada 2 macam:
- Hak
Menguji Formal (formele
toetsingsrecht);
- Hak
Menguji Material (materiele
toetsingsrecht)
Hak
Menguji Formal (formele toetsingsrecht)
adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk dari lembaga legislatif,
seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana
telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah
tidak. Hak Menguji Material (materiele
toetsingsrecht) adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi
apakah suatu peraturan perundang-undangan sesuai atau bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan
suatu peraturan tertentu
Dari
pengertian di atas, maka peristilahan hak menguji (toetsingsrecht) tidak sama dengan istilah judicial review. Berkenaan dengan hak menguji, maka wewenang
tersebut dapat dilaksanakan oleh lembaga legislatif, eksekutif maupun judisial.
Oleh karena itu, penggunaan istilah hak menguji (toetsingsrecht) yang diartikan sebagai judicial review adalah suatu kekeliruan
B). Pengujian Peraturan Perundang-undangan
Pengujian
Norma Hukum
Dalam
praktek, dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji (norm control mechanism), diantaranya:
1. yang
berisi atau bersifat pengaturan (regeling),
2. yang berisi
atau bersifat penetapan administratif/keputusan (beschikking),
3. yang
berisi atau bersifat penghakiman (vonnis).
Ketiga
norma hukum di atas sama-sama dapat diuji kebenarannya melalui mekanisme
peradilan (justisial) maupun non-justisial. Pengujian yang dilakukan
oleh lembaga peradilan, maka proses pengujiannya disebut judicial review, pengujian yang dilakukan oleh lembaga legislatif
disebut legislative review, dan
pengujian yang dilakukan oleh lembaga eksekutif disebut executive review.
Preview
dan Review
a. Review berasal dari kata re dan view yang berarti
memandang, menilai, atau menguji kembali.
b. Preview berasal dari kata pre dan view yang berarti
kegiatan memandangi sesuatu lebih dulu dari sempurnanya keadaan atau objek yang
dipandang itu.
Dalam
kaitan dengan pengujian yang dilakukan oleh lembaga peradilan, maka hanya dapat
menggunakan istilah judicial review
dan tidak dapat digunakan istilah judicial
preview. Hal ini disebabkan karena objek peraturan perundang-undangan
memiliki dimensi yang berbeda pada saat sebelum dan sesudah resmi berlaku.
Berkaitan dengan pengujian yang dilakukan secara preview, hal ini hanya dapat dilakukan oleh lembaga legislatif
untuk menguji produk legislasi (legislative
acts) yang berupa RUU yang dapat dilakukan melalui mekanisme konsultasi
publik. Hal ini dapat disebut dengan istilah legislative preview. Demikian juga oleh lembaga eksekutif terhadap
produk regulasi (executive
acts/regulating acts) yang disebut dengan istilah executive preview.
C). Pengujian
Konstitusionalitas dan Legalitas
Pengujian
konstitusionalitas undang-undang adalah pengujian mengenai nilai
konstitusionalitas undang-undang itu, baik dari segi formil ataupun materiil. Pengujian
ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, atau disebut dengan menguji the constitutionality of legislative law or
legislation.
Alat
pengukur untuk menilai atau menguji konstitusionalitas suatu undang-undang,
diantaranya:
- naskah
UUD yang resmi tertulis;
- dokumen-dokumen
tertulis yang terkait erat dengan naskah UUD itu;
- nilai-nilai
konstitusi yang hidup dalam praktek ketatanegaraan yang telah dianggap
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keharusan dan kebiasaan dalam
penyelenggaraan kegiatan bernegara;
- nilai-nilai
yang hidup dalam kesadaran kognitif rakyat serta kenyataan perilaku
politik dan hukum warga negara yang dianggap sebagai kebiasaan dan
keharusan-keharusan yang ideal dalam peri-kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Pengujian
peraturan perundang-undangan di bawah UU yang dilakukan oleh Mahkamah Agung
didasarkan pada “pengujian legalitas”, dimana indikator pengujian yang dilakukan
adalah UU yang menjadi dasar dikeluarkannya peraturan perundang-undangan di
bawah UU.
Hasil dari
pengujian
konstitusionalitas dapat berupa UU yang konstitusional (sesuai dengan
konstitusi) dan UU yang inkonstitusional.
Hasil dari
pengujian
legalitas dapat berupa peraturan perundang-undangan di bawah UU legal
atau sah dan peraturan perundang-undangan di bawah UU yang illegal atau tidak
sah.
Objek
Pengujian
Yang
menjadi objek dalam pengujian peraturan perundang-undangan adalah:
1.
Produk Legislatif (Legislative Acts)
2.
Produk Regulatif (Executive Acts)
Produk
legislatif (Legislative Acts) adalah
produk peraturan yang ditetapkan oleh atau dengan melibatkan peran lembaga
perwakilan rakyat, baik sebagai legislator
ataupun co-legislator.
1). Kedudukan
para wakil rakyat sebagai pembentuk UU, maka setiap UU sebagai produk
legislatif tidak boleh diubah atau dibatalkan oleh pemerintah tanpa persetujuan
lembaga perwakilan rakyat yang membentuknya.
2). Lembaga-lembaga
eksekutif hanya diperkenankan untuk membuat aturan untuk menjabarkan produk
legislatif berdasarkan delegasi kewenangan (self
regulatory body), dan produk hukum berupa pengaturan yang dibuat disebut
sebagai Executive Acts atau Regulative Acts dan bukan produk
legislatif (Legislative Acts).
D). Hak
Menguji Materiil di Beberapa Negara
Hak Menguji Negara Amerika Serikat
Hak
menguji dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (Supreme
Court) berdasarkan Pasal III ayat (1) dan (2) Konstitusi AS. Pelaksanaan judicial review dilakukan oleh Badan
Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Konstitusi AS tidak mengatur tentang judicial review, tetapi dalam Pasal 6 Bagian 2 Konstitusi AS
ditentukan bahwa ”the constitusional,
laws, and the treaties of the United States merupakan Supreme Laws of the land”. Hal ini menunjukkan bahwa para hakim
berkewajiban untuk menjaga agar tidak terjadi adanya suatu peraturan yang
bertentangan dengan the constitutional,
laws, and the treaties of the United States.
Pemikiran
tentang judicial review pertama kali
dikemukakan oleh Alexander Hamilton yang mengemukakan bahwa perlu adanya
jaminan terhadap undang-undang yang tidak diatur dalam konstitusi dan
penafsiran terhadap undang-undang menjadi kewenangan peradilan setelah
undang-undang tersebut ditetapkan oleh lembaga legislatif. Argumentasi ini
mendasari kewenangan peradilan untuk melakukan pengawasan konstitusi berupa judicial review oleh Mahkamah Agung. Hal ini pertama kali dilakukan
oleh Chief Justice John Marshall
dalam perkara Marbury vs Madison pada tahun 1803.
Ada 2
(dua) pandangan berkaitan dengan kekuasaan Mahkamah Agung dalam melakukan judicial review, yaitu :
a) pandangan
yang menyatakan bahwa judicial review merupakan
kekuasaan otomatis Mahkamah Agung (automatic
power of the Supreme Court);
Konstitusi
sebagai hukum tertinggi dan segala peraturan yang bertentangan merupakan
kewajiban Mahkamah Agung untuk menyatakannya sebagai unconstitutional.
b) pandangan
yang beranggapan bahwa judicial review
merupakan kekuasaan yang merdeka (bebas) dari Mahkamah Agung (discretionary power of the Supreme Court).
Yang
diatur dalam konstitusi adalah buatan manusia, dan apabila konstitusi menjadi
tidak jelas atau kabur maknanya, maka kewajiban serta hak Mahkamah Agung untuk
memperjelas atau menegaskan ketentuan-ketentuan yang tidak jelas.
Dalam
kaitan dengan pelaksanaan judicial review,
AS sebagai negara dengan sistem common
law menggunakan sistem decentralized
review dan the rule of stare decisis.
Sistem decentralized review dilakukan
oleh karena tidak adanya mahkamah yang khusus mengatur tentang sengketa yang
timbul dengan penafsiran konstitusi, sedangkan the rule of stare decisis (putusan secara langsung yang didasarkan
pada putusan sebelumnya).
Putusan
pengadilan di AS mengenai judicial review
adalah putusan inter partes, yaitu
putusan yang akibat-akibatnya hanya berlaku pada perkara yang diputus. Dengan
adanya stare dicisis, daya mengikat
putusan ini diperluas karena putusan Mahkamah Agung AS mengikat pula semua
pengadilan bawahan (binding authority).
Hak Menguji Republik Perancis
Republik
Perancis merupakan negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil law) dan teori pemisahan kekuasaan
murni (the pure theory of the separation
of power). Peradilan di Republik Perancis memiliki ciri khusus dengan
adanya peradilan administrasi, peradilan umum dan peradilan khusus. Hal ini
berakibat pada penerapan hukum yang berbeda bagi warga negara dan perusahaan (private business) dengan pegawai
administrasi pemerintah (governing public
administration). Peradilan umum dinamakan Tribunal de l’ Ordre Judiciare yang berpuncak pada La Cour de Cassation dan Tribunal de’ l Ordre Administratif (Peradilan
Administrasi Negara). Apabila terjadi sengketa jurisdiksi antara badan
peradilan umum dan badan peradilan administrasi, maka akan diperiksa dan
diputus oleh peradilan kolegial yang disebut Tribunal Des Conflicts.
Dewan
Konstitusi (The Constitutional Council)
bertugas menguji UU yang diputuskan oleh Parlemen yang menghendaki
penyempurnaan terhadap konstitusi. Dewan Konstitusi bukan merupakan Supreme Court sebab badan tersebut
bukanlah hierarki dari Peradilan Administrasi, Peradilan Umum dan Peradilan
Khusus. Dewan Konstitusi merupakan ”penjamin” konstitusi yang bertugas untuk
menjaga isi konstitusi dengan wewenang melaksanakan hak menguji. Dewan
Konstitusi tidak melaksanakan fungsi judicial, namun cara peninjauan masalah
menggunakan ukuran hukum yang terdapat dalam konstitusi dan bukan kriteria
politik.
Hak Menguji Republik Federal Jerman
Negara
Republik Jerman memiliki Mahkamah Konstitusi Federal (Bundesverfassungsgericht: BverfG) yang diatur dalam Bab IV tentang Administration of Justice Pasal 93,
Pasal 94, Pasal 99, dan Pasal 100 Konstitusi Negara Republik Federal Jerman.
Mahkamah
Konsitusi Federal (Federal Constitutional
Courts) adalah satu-satunya badan peradilan pada negara Republik Federal
Jerman yang berwenang melakukan constitutional
review (Staatsgerichtsbarkeit). Mahkamah Konstitusi Federal tidak memiliki
pengadilan bawahan maupun atasan dan terpisah dari Mahkamah Agung Federal yang
terdiri dari the Federal Administrative
Court, the Federal Fiscal Court, the Federal Labour Court, the Federal Social
Court, dan the Federal Court of
Justice, namun sebagai pelindung Basic
Law, Mahkamah Konstitusi Federal dapat membatalkan putusan Mahkamah Agung
Federal yang bertentangan dengan Basic
Law dan putusannya bersifat erga
omnes.
Tugas dan
wewenang Mahkamah Konstitusi Federal adalah sebagai berikut:
1) Mahkamah
Konstitusi Federal berwenang memecat (impeach)
Presiden Federal;
2) Mahkamah
Konstitusi Federal berwenang dalam hal terjadi perselisihan antara
lembaga-lembaga dalam pemerintah federal (disputes
between branches of federal foverment);
3) Mahkamah
Konstitusi Federal berwenang melakukan abstract
judicial review berkaitan dengan terjadinya perbedaan pendapat atau
keragu-raguan mengenai kesesuaian dalam hal formal maupun material antara UU
Federal Negara atau UU Federal Bagian dengan Basic Law, atau kesesuaian UU Negara Bagian dengan UU Negara
Federal;
4) Mahkamah
Konstitusi Federal berwenang dalam hal terjadi perselisihan antara federation dan negara bagian;
5) Mahkamah
Konstitusi Federal berwenang melakukan constitutional
complaint berkaitan dengan dilanggarnya hak-hak konstitusional warga negara
oleh pemerintah;
6) Mahkamah
Konstitusi Federal berwenang memberikan putusan terhadap kasus-kasus lain dalam
hal ditentukan oleh UU Federal;
7) Mahkamah
Konstitusi Federal berwenang untuk melakukan konkrete Normenkonrolle berkaitan dengan konstitusionalitas suatu
UU.
Hak Menguji Negara Kerajaan Inggris
Negara
Inggris merupakan negara yang menganut sistem supremasi parlemen dan tidak
memiliki konstitusi dalam dokumen tertulis. Hal ini menyebabkan Inggris sebagai
salah satu negara yang tidak mengatur tentang judicial review. Praktek judicial
review hanya terbatas pada tindakan administrasi negara atau tindakan
eksekutif.
Negara
Inggris menganut sistem unity of
jurisdiction sehingga judicial review
ditangani oleh pengadilan umum. Judicial
review dilaksanakan dalam arti terbatas yang didasarkan pada doktrin Ultra Vires.
Permohonan
judicial review hanya dapat dilakukan
berdasarkan salah satu dari tiga hal berikut, yaitu illegality (tidak sah), irrasionality
(tidak rasional), dan procedural
impropriety (salah prosedur). Walaupun pengadilan memutuskan tidak berlaku
(invalid), pengadilan tidak dapat
menggantikan keputusan tersebut. Pengadilan hanya dapat mengembalikan keputusan
tersebut kepada pembuat keputusan agar putusan pengadilan dapat dijadikan
pertimbangan.
Pengadilan
hanya dapat melakukan review terhadap
subordinate legislation dan dapat
menyatakan peraturan tersebut invalid.
Subordinate legislation berkaitan
dengan klasifikasi berdasarkan tujuan dan prosedur. Selain judicial review cara lain yang dapat digunakan untuk mengontrol subordinate legislation adalah pre-drafting consultation, parliamentary
proceedings dan joint committeeon
statutory instruments. Judicial
review tidak dapat dilakukan terhadap pelaksanaan wewenang diskresi
pemerintah, namun pemerintah tidak dapat bertindak secara sewenang-wenang atau
secara umum disebut unreasonable.
Pengaturan Hak Menguji Dalam Perundang-undangan di Indonesia
Hak Menguji UU Terhadap UUD
a. UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24C ayat (1).
b. UU Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 12 ayat (1) huruf a
c. UU Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 huruf a.
Hak Menguji Peraturan Perundang-Undangan di bawah
UU Terhadap UU
a. UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24A ayat (1).
b. UU Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman, Pasal 11 ayat (2) dan (3)
c. UU Nomor 5
Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, Pasal 31 dan Pasal 31A
Sebelum
peraturan perundang-undangan di atas, hak menguji diatur dalam Ketetapan MPR RI
Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan, UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan PERMA
Nomor 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji.
Prosedur dan Tatacara Pengujian Oleh Mahkamah Konstitusi
Pemohon dan Permohonan
a.
Pemohon
Pengujian
1) Persyaratan
Legal Standing Pemohon
Semua
perkara konstitusi di MK disebut sebagai perkara permohonan, bukan gugatan.
Pemohon
adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut undang-undang untuk
mengajukan permohonan perkara konstitusi kepada MK. Pemenuhan syarat-syarat
tersebut menentukan kedudukan hukum (legal
standing) suatu subjek hukum untuk menjadi pemohon yang sah dalam perkara
pengujian undang-undang.
Persyaratan
legal standing mencakup syarat formal
(status hukum pemohon) dan syarat materiil (kerugian hak atau kewenangan
konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang dipersoalkan.
Pemohon
adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :
a. Perorangan
WNI;
b. Kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan
hukum publik atau privat;
d. Lembaga
negara.
Hak
konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Kesimpulan:
Pemohon
yang memiliki legal standing
haruslah:
a. salah satu
dari keempat kelompok subjek hukum;
b. bahwa
subjek hukum dimaksud memang mempunyai hak-hak atau kewenangan-kewenangan
sebagaimana diatur dalam UUD 1945;
c. bahwa hak
atau kewenangan konstitusional yang bersangkutan memang telah dirugikan atau
dilanggar oleh berlakunya undang-undang atau bagian dari undang-undang yang
dipersoalkan itu;
d. bahwa
adanya atau timbulnya kerugian dimaksud memang terbukti mempunyai hubungan
sebab akibat atau hubungan kausal (causal
verband) dengan berlakunya undang-undang yang dimaksud;
e. bahwa
apabila permohonan yang bersangkutan kelak dikabulkan, maka kerugian
konstitusional yang bersangkutan memang dapat dipulihkan kembali dengan
dibatalkannya undang-undang dimaksud.
Apabila
tidak terpenuhi legal standing, maka
permohonan dinyatakan Permohonan Tidak Dapat Diterima atau Niet Onvantkelijk Verklaard (NO), sedangkan apabila dalil tidak
terbukti, maka amarnya menyatakan Menolak Permohonan Pemohon.
b). Permohonan Perkara
Permohonan
pengujian UU meliputi pengujian formil dan/atau pengujian materiil. Pengujian formil adalah pengujian UU
yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak
termasuk pengujian materiil, sedangkan pengujian
materiil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan materi muatan dalam
ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Permohonan
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh Pemohon atau Kuasanya
dalam 12 (dua belas) rangkap yang memuat:
i.
Identitas Pemohon, meliputi: nama, tempat/tanggal
lahir/umur, agama, pekerjaan, kewarganegaraan, alamat lengkap, nomor
telpon/faksimili/ telpon selular/e-mail.
ii. Uraian
mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi:
1. kewenangan
MK dalam pengujian UU (formil dan materiil);
2. kedudukan
hukum Pemohon yang berisi uraian yang jelas mengenai anggapan Pemohon tentang
hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan dengan berlakunya
UU yang dimohonkan untuk diuji;
3. alasan
permohonan pengujian formil maupun materiil, diuraikan secara jelas dan rinci.
iii. Hal-hal yang
dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian formil, yaitu:
1. mengabulkan
permohonan Pemohon;
2. menyatakan
bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan
undang-undang berdasarkan UUD 1945;
3. menyatakan
undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
iv. Hal-hal
yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian materiil, yaitu:
1. mengabulkan
permohonan Pemohon;
2. menyatakan
bahwa materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang dimaksud
bertentangan dengan UUD 1945;
3. menyatakan
bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Di samping
diajukan dalam bentuk tertulis, permohonan juga diajukan dalam format digital
yang disimpan secara elektronik dalam media penyimpanan berupa disket, cakram
padat (compact disk) atau yang serupa
dengan itu.
Setelah
permohonan disiapkan, Pemohon melakukan pendaftaran permohonan ke Panitera MK.
Kemudian ditentukan Jadwal Sidang, Pemberitahuan dan Pemanggilan Pihak-pihak
untuk menyampaikan keterangan.
Panitera
MK akan melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan permohonan, dan apabila
belum lengkap, maka Pemohon diminta untuk melengkapi kekurangan berkas-berkas
permohonan tersebut (penelitian administratif).
Pemeriksaan
Persidangan
1). Pemeriksaan
Pendahuluan (Preliminary session)
Pemeriksaan
Pendahuluan didasarkan pada Pasal 39 UU No. 24 Tahun 2003:
(1)
Sebelum mulai memeriksa perkara, MK mengadakan
pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan;
(2)
Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), MK wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau
memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari.
Pemeriksaan
pendahuluan merupakan proses pemeriksaan perkara tersendiri dari pemeriksaan
persidangan. Pemeriksaan pendahuluan berkaitan dengan pemeriksaan atau
penelitian administratif yang dilakukan oleh panitera MK, tetapi dalam
pemeriksaan pendahuluan ini dilakukan dalam sidang terbuka.
Tujuan
Pemeriksaan Pendahuluan:
a. Memastikan
kelengkapan berkas permohonan perkara pengujian undang-undang yang diajukan
oleh pemohon sesuai dengan UU dan PMK;
b. Memastikan
kejelasan materi permohonan yang diajukan oleh pemohon, baik posita-nya, amar
yang diminta, dan apa saja alat bukti yang sudah dan akan diajukan untuk
mendukung dalil-dalil yang diajukan;
c. Memastikan
bahwa permohonan yang diajukan pemohon memang termasuk kewenangan MK untuk
memeriksa dan mengadilinya, termasuk mengenai kejelasan apakah perkara tersebut
berkenaan dengan pengujian undang-undang secara materiil atau formil;
d. Memastikan
kualitas kedudukan hukum pemohon yang mengajukan permohonan memang memenuhi
syarat menurut ketentuan UU;
e. Memastikan
bahwa permohonan perkara pengujian undang-undang yang diajukan oleh pemohon itu
memang sudah sesuai dengan ketentuan UU dan PMK.
2). Pemeriksaan
Oleh Panel
Pemeriksaan
oleh panel hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas tiga orang hakim
konstitusi adalah salah satu bentuk dari persidangan MK. Selain itu, terdapat
sidang pleno hakim yang dihadiri sekurang-kurangnya tujuh orang hakim
konstitusi.
Pemeriksaan
oleh panel hakim tidak hanya terbatas kepada pemeriksaan pendahuluan dan
pemeriksaan lainnya terhadap permohonan dan pemohon, tetapi dapat pula
menyangkut pokok perkara. Bahkan panel juga dapat melakukan pemeriksaan
bukti-bukti.
Panel
dapat difungsikan secara penuh sebagai alat perlengkapan MK untuk memeriksa
suatu perkara, yang hasilnya langsung dilaporkan kepada forum rapat pleno
permusyawaratan hakim yang bersifat tertutup untuk diambil putusan final atas
perkara yang bersangkutan.
Hal-hal
yang dapat dilakukan oleh panel hakim MK:
1. Pemeriksaan
kelengkapan permohonan dan kesesuaian permohonan itu dengan ketentuan UU dan
PMK;
2. Pemeriksaan
mengenai kejelasan materi permohonan, termasuk mengenai maksud pengujian
undang-undang yang diajukan, apakah bersifat materiil atau formil, kejelasan fundamentum petendi atau posita dan
kejelasan petitum yang diminta dalam
permohonan;
3. Pemeriksaan
mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan keberwenangan MK untuk memeriksa
dan mengadili permohonan yang diajukan;
4. Pemeriksaan
mengenai pemenuhan syarat-syarat kedudukan hukum pemohon;
5. Pemeriksaan
terhadap keterangan saksi-saksi, keterangan ahli atau para ahli, dan
pemeriksaan terhadap alat-alat bukti lainnya, seperti alat bukti surat dan
sebagainya;
6. Pemeriksaan
terhadap keterangan pihak-pihak yang terkait kepentingannya, sehingga
mengajukan permohonan untuk menyampaikan keterangan sebagai ad-informandum yang tidak mengikat.
3). Pemeriksaan
Oleh Pleno
Dalam
memeriksa suatu permohonan pengujian undang-undang, jika MK memang menganggap
penting untuk memanggil Presiden, DPR, DPD atau lembaga negara sederajat
lainnya, maka MK selalu mengadakan persidangan dalam bentuk pleno yang harus
dihadiri sekurang-kurangnya tujuh orang hakim konstitusi.
Sidang
Pleno memeriksa hal-hal berikut ini:
a. Pemeriksaan
kelengkapan permohonan dan kesesuaian permohonan itu dengan ketentuan UU dan
PMK;
b. Pemeriksaan
mengenai kejelasan materi permohonan, termasuk mengenai maksud pengujian
undang-undang yang diajukan, apakah bersifat materiil atau formil, kejelasan fundamentum petendi atau posita dan
kejelasan petita atau petitum yang diminta dalam permohonan;
c. Permohonan
mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan keberwenangan MK untuk memeriksa
dan mengadili permohonan yang diajukan;
d. Pemeriksaan
mengenai pemenuhan syarat-syarat kedudukan hukum pemohon;
e. Pemeriksaan
terhadap keterangan saksi-saksi, keterangan ahli atau para ahli, dan
pemeriksaan terhadap alat-alat bukti lainnya;
f.
Pemeriksaan terhadap keterangan pihak-pihak yang
terkait kepentingannya, sehingga mengajukan permohonan untuk menyampaikan
keterangan sebagai ad-informandum
yang tidak mengikat;
g. Pemeriksaan
terhadap keterangan Presiden/Pemerintah yang diwakili oleh menteri atau
menteri-menteri, DPR dan DPD.
Dalam
persidangan perkara pengujian undang-undang seringkali para pemohon mendalilkan
adanya dugaan tindak pidana penyuapan atau korupsi dalam proses pembentukan undang-undang
yang dimohonkan untuk diuji. Meskipun mengenai dugaan tindak pidana itu tidak
terkait dengan kewenangan MK untuk menilai atau mengadilinya, akan tetapi, jika
suatu undang-undang disusun dan ditetapkan atas dasar perbuatan pidana yang
diancam dengan pidana menurut undang-undang, maka proses pembentukan
undang-undang yang bersangkutan dapat dinilai bertentangan dengan prinsip dan
prosedur pembentukan undang-undang yang baik.
Oleh
karena itu, jika tuduhan mengenai adanya tindak pidana dalam proses pembentukan
undang-undang memang telah terbukti di pengadilan dengan kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijs), maka atas dasar
itu MK dapat menyatakan bahwa pembentukan undang-undang yang bersangkutan cacat
hukum dan karenanya bertentangan dengan UUD, sehingga menyatakan tidak lagi
memiliki kekuatan hukum mengikat.
Putusan
dan Akibat Hukumnya
Putusan
MK harus memuat:
4. Kepala
putusan berbunyi: ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
5. Identitas
pihak;
6. Ringkasan
permohonan;
7. Pertimbangan
terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
8. Pertimbangan
hukum yang menjadi dasar putusan;
9. Amar
putusan; dan
10. Hari,
tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.
Dalam
putusan itu harus dimuat pula pendapat hakim yang berbeda terhadap putusan yang
bersangkutan. Pendapat hakim yang
berbeda adalah pendapat hakim yang tidak mengikuti kesepakatan mayoritas
hakim yang menyusun keseluruhan isi putusan itu.
Pendapat
hakim yang berbeda dapat dibagi tiga macam, yaitu:
a. dissenting opinion, apabila
pendapat yang diajukan itu sama sekali berbeda argumennya dan juga berbeda
kesimpulannya terhadap pendapat mayoritas hakim yang menjadi putusan final dan
mengikat;
b. concurrent opinion, jika
pendapat berbeda itu mempunyai kesimpulan pada amar putusan yang sama, tetapi
alasan yang dipergunakan untuk sampai pada kesimpulan itu berbeda (sifatnya
komplementer atau mendukung melalui pendekatan yang berbeda);
c. consenting opinion, pendapat
yang menyetujui kesimpulan yang dibuat dalam amar putusan, tetapi karena
argumen yang diajukan berbeda, dinilai layak untuk dirumuskan secara tersendiri
dalam putusan, tetapi tidak tergabung dalam pertimbangan mayoritas hakim yang
menjadi dasar putusan final.
Putusan
MK hanya mengenal tiga alternatif putusan:
- Mengabulkan;
- Menolak;
atau
- Menyatakan
tidak dapat menerima (niet
onvankelijk verklaard).
Akibat
hukum terhadap putusan MK berkaitan dengan peraturan terkait, dan terhadap
subjek dan perbuatan hukum sebelum putusan.
Prosedur dan Tatacara Pengujian Oleh Mahkamah Agung
Gugatan
dan Permohonan Keberatan
Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 tentang
Hak Uji Materiil disebutkan bahwa Hak Uji Materiil dalam Hak Mahkamah Agung
untuk menguji secara materiil terhadap peraturan perundang-undangan, sehubungan
dengan adanya gugatan atau permohonan keberatan. Peraturan perundang-undangan
yang diuji dalam Hak Mahkamah Agung ini adalah suatu peraturan yang mengikat
secara umum di bawah Undang-undang.
Kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan hak menguji
materiil terhadap peraturan perundang-undangan yang mengikat umum yang
tingkatannya di bawah undang-undang dapat melalui dua cara yaitu :
a.
Gugatan Hak Uji Materiil
b.
Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil
Gugatan adalah
tuntutan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara terhadap peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-undang dan diajukan ke Mahkamah Agung untuk
mendapatkan putusan. Di mana penggugat adalah seseorang, badan hukum perdata,
kelompok masyarakat yang mengajukan gugatan Hak Uji Materiil kepada Mahkamah
Agung dan tergugatnya adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang digugat.
Permohonan
Keberatan adalah
suatu permohonan yang berisi keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan
perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi dan diajukan ke Mahkamah Agung. Sementara yang menjadi
Pemohonan Keberatan adalah kelompok masyarakat yang mengajukan permohonan
keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan
perundang-undangan.
Tatacara
Pengajuan Gugatan dan Permohonan Keberatan
Terhadap prosedur gugatan hak uji materiil yang diajukan
ke Mahkamah Agung dapat dilakukan dengan
2 (dua) cara, yaitu :
1.
Langsung ke Mahkamah Agung.
2.
Melalui Pengadilan Negeri di wilayah hukum tempat
kedudukan tergugat.
Gugatan hak uji materiil hanya dapat diajukan terhadap
satu persatu perundang-undangan, kecuali terhadap peraturan perundang-undangan
yang saling berkaitan secara langsung. Gugatan dibuat rangkap seperlunya dengan
menyebutkan sejelas-jelasnya
alasan-alasan yang dijadikan dasar gugatannya dan harus ditanda tangan oleh
Penggugat atau kuasanya yang sah. Gugatan diajukan dalam tenggang waktu 180
(seratus delapan puluh) hari sejak berlakunya peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan.
Ketentuan mengenai tata cara pengajuan gugatan hak
menguji materiil langsung kepada Mahkamah Agung dapat dilihat pada pasal 3
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999, yang menyebutkan bahwa :
Gugatan
diajukan langsung ke Mahkamah Agung, didaftarkan di kepaniteraan Mahkamah Agung
dan dibukukan dalam buku register tersendiri dengan menggunakan kode : …
G/HUM/Th … . Panitera Mahkamah Agung
kemudian memeriksa kelengkapan berkas dan apabila terdapat kekurangan dapat
meminta langsung kepada Penggugat atau kuasanya yang sah. Panitera Mahkamah
Agung wajib mengirimkan salinan gugatan tersebut kepada pihak Tergugat setelah
terpenuhi kelengkapan berkasnya, dan Tergugat wajib mengirimkan atau
menyerahkan jawabannya kepada Panitera Mahkamah Agung dalam waktu 14 (empat
belas) hari sejak diterima salinan gugatan tersebut. Panitera Mahkamah Agung
menyampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk ditetapkan Majelis Hakim Agung
setelah lengkap berkas gugatan tersebut.
Sedangkan ketentuan mengenai tata cara pengajuan gugatan
hak uji materiil melalui Pengadilan Negeri di wilayah hukum tempat kedudukan
tergugat dilaksanakan berdasarkan pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 1999, yang menyebutkan bahwa :
Dalam hal
gugatan diajukan melalui Pengadilan Negeri setempat, didaftarkan pada
kepaniteraan dan dibukukan dalam buku register perkara tersendiri dengan
menggunakan kode : … G/HUM/Th …/PN …
setelah Penggugat atau kuasanya membayar biaya perkara dan diberikan
tanda terima biaya perkara tersebut. Panitera Pengadilan Negeri kemudian
memeriksa kelengkapan gugatan yang telah didaftarkan oleh Penggugat atau
kuasanya yang sah. Panitera Pengadilan Negeri sebelum meneruskan berkas gugatan
kepada Mahkamah Agung terlebih dahulu wajib mengirimkan salinan gugatan kepada
Tergugat untuk mendapatkan jawaban atas gugatan Penggugat, dan Tergugat dalam
waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan gugatan tersebut harus
mengirim atau menyerahkan jawabannya kepada Panitera Pengadilan Negeri yang
bersangkutan. Panitera Pengadilan Negeri yang bersangkutan segera
mengirimkan kepada Mahkamah Agung pada
hari berikutnya setelah tenggang waktu di atas selesai. Panitera Mahkamah Agung menyampaikan kepada Ketua Mahkamah
Agung untuk ditetapkan Majelis Hakim Agung.
Sementara itu untuk permohonan keberatan hak uji materiil
yang diajukan kepada Mahkamah Agung dapat dilakukan dengan cara :
1. Langsung
ke Mahkamah Agung.
2. Melalui
Pengadilan Negeri di wilayah hukum tempat kedudukan pemohon.
Permohonan Keberatan hanya dapat diajukan terhadap satu
peraturan perundang-undangan, kecuali terhadap peraturan perundang-undangan
yang saling berkaitan secara langsung. Permohonan Keberatan dibuat rangkap
seperlunya dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan-alasan yang dijadikan
dasar keberatan dan wajib ditanda tangani oleh Pemohon atau kuasanya yang sah.
Permohonan Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh)
hari sejak berlakunya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Dalam hal pemohonan kebertan diajukan langsung ke
Mahkamah Agung, didaftarkan di kepaniteraan Mahkamah Agung dan dibukukan dalam
buku register tersendiri dengan menggunakan kode : … P/HUM/Th … . Panitera
Mahkamah Agung kemudian memeriksa kelengkapan berkas dan apabila
terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada Pemohon Keberatan atau
kuasanya yang sah. Panitera Mahkamah
Agung menyampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk ditetapkan Majelis Hakim
Agung, setelah lengkap berkas permohonan keberatan tersebut.
Sedangkan dalam hal permohonan keberatan diajukan melalui
Pengadilan Negeri setempat, didaftarkan pada kepaniteraan dan dibukukan dalam
buku register permohonan tersendiri dengan menggunakan kode : … P/HUM/Th/PN … setelah Pemohon atau kuasanya yang sah
membayar biaya permohonan dan diberikan tanda terima. Panitera Pengadilan
Negeri kemudian memeriksa kelengkapan
permohonan keberatan yang telah didaftarkan oleh Pemohon atau kuasanya yang
sah, dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada Pemohon atau
kuasanya yang sah. Panitera Pengadilan
Negeri yang bersangkutan segera mengirimkan kepada Mahkamah Agung pada hari berikutnya. Panitera Mahkamah Agung menyampaikan kepada Ketua
Mahkamah Agung untuk ditetapkan Majelis Hakim Agung.
Dalam persidangan hak uji materiil, Ketua Mahkamah Agung
menetapkan Mejelis Hakim Agung yang akan memeriksa dan memutus tentang
permohonan Hak Uji Materiil tersebut, baik terhadap gugatan maupun permohonan
keberatan. Majelis Hakim Agung memeriksa dan memutus gugatan dan permohonan
keberatan tentang Hak Uji Materiil tersebut dengan menerapkan ketentuan hukum
yang berlaku bagi perkara gugatan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya sesuai
dengan azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa gugatan dan
permohonan keberatan tersebut beralasan, karena peraturan perundang-undangan
dimaksud bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi Mahkamah Agung mengabulkan gugatan tersebut. Mahkamah Agung
dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang digugat
tersebut sebagai tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan
dengan segera pencabutannya kepada instansi yang bersangkutan. Namun apabila
dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa gugatan itu tidak beralasan, Majelis
Hakim Agung menolak gugatan tersebut. Putusan Majelis Hakim Agung terhadap
gugatan Hak Uji Materiil akan dilakukan setelah pihak Tergugat didengar
jawabannya.